Sejarah Dan Keunikan Makam Joko Tarub

Legenda Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah populer Sastra Jawa Baru, Babad Tanah Jawi.

Kisah ini berputar pada kehidupan tokoh utama yang bernama Jaka Tarub (“pemuda dari Tarub”). Setelah dewasa ia digelari Ki Ageng Tarub. Ki Ageng Tarub adalah tokoh yang dianggap sebagai leluhur dinasti Mataram, dinasti yang menguasai politik tanah Jawa – sebagian atau seluruhnya – sejak abad ke-17 hingga sekarang. Menurut sumber masyarakat di desa Widodaren, Gerih, Ngawi, peristiwa ini terjadi di desa tersebut. Sebagai bukti masyarakat setempat percaya karena terdapat petilasan makam Jaka Tarub di desa tersebut. Rata-rata masyarakat setempat yang sudah lanjut usia tahu jalan cerita Jaka Tarub dengan 7 bidadari. Nama desa Widodaren itu dipercayai masyarakat setempat berasal dari kata widodari yang berarti dalam bahasa Indonesia adalah bidadari. Di desa ini juga terdapat sendang yang konon dulu adalah tempat para bidadari mandi dan Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari

Makam Ki Ageng Joko Tarub yang terletak di Dusun Pacanan, Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur mempunyai keunikan dan sejarah yang melegenda.

Masyarakat muslim, khususunya dari luar Madura mulai ramai mengunjungi makam Joko Tarub yang dikenal menikah dengan seorang bidadari Nawang Wulan dari kayangan dan memiliki anak bernama Nawang Sari.

Peninggalan yang masih tersisah, berupa musalla atau “langgar” beratap ilalang. Konon, musalla ini ada dengan sendirinya. Dilokasi pemakaman juga terdapat bangunan yang beratap ilalang.

Di dalam bangunan tersebut terdapat empat buah mirip batu nisan dan bertuliskan, Nawang Wulan, Dewi Nawang Sasih, Raden Arjo Bondan Kejawen, dan Nawang Sari. Dan ada pula, kain warna-warni yang dilambangkan sebagai selendang Nawang Wulan.

Kain tersebut diyakini mempunyai manfaat tersendiri, sehingga sebagian pengunjung ada yang membawa pulang. Bagi mereka yang sukses, maka kain itu dikembalikan dan membawa lebih banyak lagi. Anehnya, kain tersebut selalu cukup untuk kebutuhan peziarah.

Keunikan lainnya, berupa pohon bambu yang mengelilingi areal pemakaman Joko Tarub. Bambu-bambu itu dipercaya mampu melanggengkan hubungan cintah-kasih lain jenis dengan cara menulis nama pasangan.

Tak ayal, jika di pohon bambu yang diselamatkan oleh warga sekitar itu terdapat nama berpasang-pasangan.

Para pengunjung juga disediakan minuman teh oleh Kamariyah, seorang ibu yang mempunyai garis keturunan dengan Ki Ageng Joko Tarub. “Minuman ini sekedar menghilangkan dahaga para peziarah,” kata Kamariah.

 

Sumber : portal madura

4 Tempat Wisata Di Pulau Madura Untuk Liburan Anda !!!

Bagi Anda yang suka berlibur ke tempat-tempat wisata atau belum ada rencana liburan diakhir tahun 2014, tidak salah bila memilih salah satu wisata yang ada di Pulau Madura, Jawa Timur.

Bagi Anda yang mengambil jalur Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) tentu akan menikmati indahnya selat Madura dengan panjang jembatan 5.438 meter. Anda rugi bila tidak melanjutkan perjalanan ke empat kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep).

Air Terjun Kokop, Bangkalan

Lokasinya cukup terpencil berada di Desa Durjan, Kecamatan Kokop, Kabupaten Bangkalan. Walaupun letaknya terpencil, namun Air Terjun ini menyajikan keindahan yang luar biasa, dengan tinggi sekitar 10 meter dari permukaan tanah. Anda akan di manjakan dengan keasrian alam sekitar Air Terjun yang masih alami. 4 Objek Wisata Tersembunyi di Madura

Pulau Mandangin, Sampang

Pulau Mandangin ini terletak di sebelah selatan Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Pulau ini, mempunyai tiga dusun. Dusun Barat terdiri dari 6 RT, Dusun Kramat terdiri dari 5 RT, dan Dusun Candin terdiri dari 5 RT. Keindahan pantainya luar biasa. Anda ingin tahu lebih detail dan tips berwisata ke Pulau Mandangin? klik disini : Tips Berwisata ke Pulau Mandangin

Vihara Avalokitesvara, Pamekasan

Sebuah rumah ibadah agama Buddha, didalamnya ada patung berukuran tinggi 155 cm, tebal tengah 36 cm, dan tebal bawah 59 cm. Ini terletak di Kampung Candi, Desa Polaga, di wilayah Kecamatan Galis, Pamekasan atau sebelah barat Pantai Wisata Talang Siring, Madura, Jawa Timur.

Pihak Vihara Avalokitesvara juga menyediakan tempat ibadah bagi agama lain, termasuk agama Islam. Lokasi ini sudah terkenal se antero dunia. Sebagai referensi klik disini : Keunikan Vihara Avalokitesvara

Pulau Gili Labak, Sumenep

Keindahan Pulau Gili Labak, Desa Kombang Kecamatan Talango Sumenep, Madura, Jawa Timur. Sulit ditemui di daerah lain. Pulau yang hanya mempunyai luas 5 hektare ini, dihuni sekitar 35 kepala keluarga atau 100 jiwa lebih, yakni perempuan 58 orang dan laki-laki hanya 36 orang dan selebihnya masih usai sekolah.

Pasirnya lembut dan lautnya indah. Pulau ini juga cocok untuk lokasi selam dasar maupun selam profesional -scuba diving. Anda akan dimanjakan dengan warna-warni ikan dan terumbu karang yang masih perawan. Sebagai referensi klik disini : Pulau Gili Labak Sumenep Yang Menakjubkan

Ini hanya sebagian kecil lokasi wisata yang ada di empat kabupaten di Madura. Selain masih alami, Anda juga akan dimanjakan dengan berbagai kuliner khas Madura, seni-budaya, kerajinan tangan yang mempunyai khas tersendiri di empat kabupaten tersebut. Selamat Menikmati.

Sejarah Kab. Pamekasan Madura

PAMEKASAN Kabupaten ketiga setelah Bangkalan dan Sampang, kita akan sampai di Pamekasan.
Kabupaten Pamekasan adalah sebuah kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Ibukotanya adalah Pamekasan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur.

Kabupaten Pamekasan terdiri atas 13 kecamatan, yang dibagi lagi atas 178 desa dan 11 kelurahan. Pusat pemerintahannya ada di Kecamatan Pamekasan.
Sejarah

Kemunculan sejarah pemerintahan lokal Pamekasan, diperkirakan baru diketahui sejak pertengahan abad ke-15 berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya mitos atau legenda Aryo Menak Sunoyo yang mulai merintis pemerintahan lokal di daerah Proppo atau Parupuk. Jauh sebelum munculnya legenda ini, keberadaan Pamekasan tidak banyak dibicarakan. Diperkirakan, Pamekasan merupakan bagian dari pemerintahan Madura di Sumenep yang telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268 oleh Kertanegara.

Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Istilah Pamekasan sendiri baru dikenal pada sepertiga abad ke-16, ketika Ronggosukowati mulai memindahkan pusat pemerintahan dari Kraton Labangan Daja ke Kraton Mandilaras. Memang belum cukup bukti tertulis yang menyebutkan proses perpindahan pusat pemerintahan sehingga terjadi perubahan nama wilayah ini. Begitu juga munculnya sejarah pemerintahan di Pamekasan sangat jarang ditemukan bukti-bukti tertulis apalagi prasasti yang menjelaskan tentang kapan dan bagaimana keberadaannya.

Jika pemerintahan lokal Pamekasan lahir pada abad 15, tidak dapat disangkal bahwa kabupaten ini lahir pada jaman kegelapan Majapahit yaitu pada saat daerah-daerah pesisir di wilayah kekuasaan Majapahit mulai merintis berdirinya pemerintahan sendiri. Berkaitan dengan sejarah kegelapan Majapahit tentu tidak bisa dipungkiri tentang kemiskinan data sejarah karena di Majapahit sendiri telah sibuk dengan upaya mempertahankan bekas wilayah pemerintahannya yang sangat besar, apalagi saat itu sastrawan-sastrawan terkenal setingkat Mpu Prapanca dan Mpu Tantular tidak banyak menghasilkan karya sastra. Sedangkan pada kehidupan masyarakat Madura sendiri, nampaknya lebih berkembang sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulis Graaf (2001) menulis bahwa orang Madura tidak mempunyai sejarah tertulis dalam bahasa sendiri mengenai raja-raja pribumi pada zaman pra-islam.

Tulisan-tulisan yang kemudian mulai diperkenalkan sejarah pemerintahan Pamekasan ini pada awalnya lebih banyak ditulis oleh penulis Belanda sehingga banyak menggunakan Bahasa Belanda dan kemudian mulai diterjemahkan atau ditulis kembali oleh sejarawan Madura, seperti Zainal fatah ataupun Abdurrahman. Memang masih ada bukti-bukti tertulis lainnya yang berkembang di masyarakat, seperti tulisan pada daun lontar atau Layang Madura, namun demikian tulisan pada layang inipun lebih banyak menceritakan sejarah kehidupan para Nabi (Rasul) dan sahabatnya, termasuk juga ajaran-ajaran agama sebagai salah satu sumber pelajaran agama bagi masyarakat luas.

Masa pencerahan sejarah lokal Pamekasan mulai terungkap sekitar paruh kedua abad ke-16, ketika pengaruh Mataram mulai masuk di Madura, terlebih lagi ketika Ronggosukowati mulai mereformasi pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Bahkan, raja ini disebut-sebut sebagai raja Pertama di Pamekasan yang secara terang-terangan mulai mengembangkan Agama Islam di kraton dan rakyatnya. Hal ini diperkuat dengan pembuatan jalan Se Jimat, yaitu jalan-jalan di Alun-alun kota Pamekasan dan mendirikan Masjid Jamik Pamekasan. Namun demikian, sampai saat ini masih belum bisa diketemukan adanya inskripsi ataupun prasasti pada beberapa situs peninggalannya untuk menentukan kepastian tanggal dan bulan pada saat pertama kali ia memerintah Pamekasan.

Bahkan zaman pemerintahan Ronggosukowati mulai dikenal sejak berkembangnya legenda kyai Joko Piturun, pusaka andalan Ronggosukowati yang diceritakan mampu membunuh Pangeran Lemah Duwur dari Aresbaya melalui peristiwa mimpi. Padahal temuan ini sangat penting karena dianggap memiliki nilai sejarah untuk menentukan Hari Jadi Kota Pamekasan.

Terungkapnya sejarah pemerintahan di Pamekasan semakin ada titik terang setelah berhasilnya invansi Mataram ke Madura dan merintis pemerintahan lokal dibawah pengawasan Mataram. Hal ini dikisahkan dalam beberapa karya tulis seperti Babad Mataram dan Sejarah Dalem serta telah adanya beberapa penelitian sejarah oleh Sarjana barat yang lebih banyak dikaitkan dengan perkembangan sosial dan agama, khususnya perkembangan Islam di Pulau Jawa dan Madura, seperti Graaf dan TH. Pigeaud tentang kerajaan Islam pertama di Jawa dan Benda tentang Matahari Terbit dan Bulan Sabit, termasuk juga beberapa karya penelitian lainnya yang menceritakan sejarah Madura. Masa-masa berikutnya yaitu masa-masa yang lebih cerah sebab telah banyak tulisan berupa hasil penelitian yang didasarkan pada tulisan-tulisan sejarah Madura termasuk Pamekasan dari segi pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan agama, mulai dari masuknya pengaruh Mataram khususnya dalam pemerintahan Madura Barat (Bangkalan dan Pamekasan), masa campur tangan pemerintahan Belanda yang sempat menimbulkan pro dan kontra bagi para Penguasa Madura, dan menimbulkan peperangan Pangeran Trunojoyo dan Ke’ Lesap, dan terakhir pada saat terjadinya pemerintahan kolonial Belanda di Madura.

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda inilah, nampaknya Pamekasan untuk perkembangan politik nasional tidak menguntungkan, tetapi disisi lain, para penguasa Pamekasan seperti diibaratkan pada pepatah Buppa’, Babu’, Guru, Rato telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintahan Kolonial untuk kerentanan politiknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya penguasa Madura yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memadamkan beberapa pemberontakan di Nusantara yang dianggap merugikan pemerintahan kolonial dan penggunaan tenaga kerja Madura untuk kepentingan perkembangan ekonomi Kolonial pada beberapa perusahaan Barat yang ada didaerah Jawa, khususnya Jawa Timur bagian timur (Karisidenan Basuki).

Tenaga kerja Madura dimanfaatkan sebagai tenaga buruh pada beberapa perkebunan Belanda. Orang-orang Pamekasan sendiri pada akhirnya banyak hijrah dan menetap di daerah Bondowoso. Walaupun sisi lain, seperti yang ditulis oleh peneliti Belanda masa Hindia Belanda telah menyebabkan terbukanya Madura dengan dunia luar yang menyebabkan orang-orang kecil mengetahui system komersialisasi dan industrialisasi yang sangat bermanfaat untuk gerakan-gerakan politik masa berikutnya dan muncul kesadaran kebangsaan, masa Hindia Belanda telah menorehkan sejarah tentang pedihnya luka akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing. Memberlakukan dan perlindungan terhadap system apanage telah membuat orang-orang kecil di pedesaan tidak bisa menikmati hak-haknya secara bebas.

Begitu juga ketika politik etis diberlakukan, rakyat Madura telah diperkenalkan akan pentingnya pendidikan dan industri, tetapi disisi lain, keuntungan politik etis yang dinikmati oleh rakyat Madura termasuk Pamekasan harus ditebus dengan hancurnya ekologi Madura secara berkepanjangan, atau sedikitnya sampai masa pemulihan keadaan yang dipelopori oleh Residen R. Soenarto Hadiwidjojo. Bahwa pencabutan hak apanage yang diberikan kepada para bangsawan dan raja-raja Madura telah mengarah kepada kehancuran prestise pemegangnya yang selama beberapa abad disandangnya.

Perkembangan Pamekasan, walaupun tidak terlalu banyak bukti tertulis berupa manuskrip ataupun inskripsi nampaknya memiliki peran yang cukup penting pada pertumbuhan kesadaran kebangsaan yang mulai berkembang di negara kita pada zaman Kebangkitan dan Pergerakan Nasional. Banyak tokoh-tokoh Pamekasan yang kemudian bergabung dengan partai-partai politik nasional yang mulai bangkit seperti Sarikat Islam dan Nahdatul Ulama diakui sebagai tokoh nasional. Kita mengenal Tabrani, sebagai pencetus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang mulai dihembuskan pada saat terjadinya Kongres Pemuda pertama pada tahun 1926, namun terjadi perselisihan faham dengan tokoh nasional lainnya di kongres tersebut. Pada Kongres Pemuda kedua tahun 1928 antara Tabrani dengan tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin sudah tidak lagi bersilang pendapat.

Pergaulan tokoh-tokoh Pamekasan pada tingkat nasional baik secara perorangan ataupun melalui partai-partai politik yang bermunculan pada saat itu, ditambah dengan kejadian-kejadian historis sekitar persiapan kemerdekaan yang kemudian disusul dengan tragedi-tragedi pada zaman pendudukan Jepang ternyata mampu mendorong semakin kuatnya kesadaran para tokoh Pamekasan akan pentingnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian bahwa sebagian besar rakyat Madura termasuk Pamekasan tidak bisa menerima terbentuknya negara Madura sebagai salah satu upaya Pemerintahan Kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Melihat dari sedikitnya, bahkan hampir tidak ada sama sekali prasasti maupun inskripsi sebagai sumber penulisan ini, maka data-data ataupun fakta yang digunakan untuk menganalisis peristiwa yang terjadi tetap diupayakan menggunakan data-data sekunder berupa buku-buku sejarah ataupun Layang Madura yang diperkirakan memiliki kaitan peristiwa dengan kejadian sejarah yang ada. Selain itu diupayakan menggunakan data primer dari beberapa informan kunci yaitu para sesepuh Pamekasan.

Saat ini nama pamekasan sedang naik daung dengan kehadiran klub sepak Bola Profesional Persepam madura United , yang saejak kompetisi 2012/2013 masuk dalam Indonesia Super League (ISL)
Sejarah Dan Asal Usul pamekasan

Ki Ario Mengo telah membuka hutan di selatan Pulau Madura dan mendirikan Keraton Lawangan Daja, maka diartikel kali ini Ambang Inside akan meneruskan tentang keturunan dari Ki Ario Mengo. Ki Ario Mengo memiliki seorang puteri tunggal yang bernama Nyi Banu. Nyi Banu tumbuh menjadi gadis yang rupawan dan cerdas dan diharapkan oleh Ki Ario Mengo dapat menggantikan kedudukannya setelah ia wafat.
Untuk itu, sejak kecil Nyi Banu dididik dengan penuh kasih sayang oleh Ki Ario Mengo. Maka tidak mengherankan bila perilaku dan keluhuran budi Nyi Banu sangat mirip dengan ayahnya tersebut. Nyi Banu bukan hanya disegani oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh pejabat Keraton Lawangan Daja.
Setelah Ki Ario Mengo wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan. Oleh karena Nyi Banu merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahnya ketika itu, maka tidak saja namanya sangat masyhur, tetapi juga keratonnya. Keraton Lawangan Daja ini kemudian hari dikenal dengan nama Keraton Pamekasan.
Tidak sia-sialah Ki Ario Mengo mendidik putrinya karena ternyata Nyi Banu dapat memimpin rakyatnya dengan baik dan sukses. Bidang pertanian dan perdagangan di Keraton Lawangan Daja maju dengan pesat. Banyak saudagar yang mengadakan hubungan dagang antar pulau menyinggahkan kapalnya di pantai Talang.
Kek Lesap Mengabdi Kepada Raja Bangkalan (Awal Pamekasan)

Syahdan, diceritakan bahwa penggantian nama Pawelingan menjadi Pamekasan sebenarnya berasal dari cerita Kek Lesap. Sebenarnya Kek Lesap adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V, yaitu Raja Bangkalan. Tetapi malang, ia tidak diakui sebagai anak kandungnya. Sungguhpun demikian, ia memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahandanya. Ia dijadikan juru rawat kuda di keraton Bangkalan. Setiap hari ia harus menyiapkan kuda untuk Kompeni Belanda.
Darah pahlawan yang mengalir di sekujur tubuhnya mulai menggelegak. Pikiran sehatnya dan hati nuraninya tidak dapat menerima kerjasama dengan kompeni Belanda yang dilakukan oleh ayahnya. Agar ia tidak selalu melihat hal yang menyinggung perasaannya, ia sering meninggalkan keraton Bangkalan untuk mengaji. Oleh karena ia adalah anak yang cerdas, maka Kek Lesap dijadikan pembantu oleh kiainya.
Pengalaman pahit di keraton ayahandanya itu selalu membayangi hidupnya. Begitu juga tingkah laku, sikap dan tindakan Kompeni Belanda terhadap ayahandanya selalu mengusik perasaannya. Agar cita-citanya itu tercapai, ia bertapa di Gunung Gegger di daerah Arosbaya, untuk mendapatkan kekuatan batin.
Kek Lesap Bertapa di Gunung Payudan Sumenep

Setelah sekian lama di sana, kemudian ia pindah ke Gunung Payudan di daerah Guluk-guluk, Sumenep. Di tempat yang baru ini, sekian bulan lamanya ia tidak keluar. Ia menyatukan dirinya dengan Yang Maha Pencipta, dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Tuhan mengabulkan permohonan orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian pula kepada Kek Lesap diberikan kekuatan batin. Selain itu, ia memperoleh senjata ampuh sebangsa celurit kecil yang ia namakan Kodhi’ Crangcang.
Dengan senjata yang bernama Kodhi’ Crangcang tersebut Kek Lesap merasa mampu melawan Kompeni Belanda yang telah menguasai para bupati di seluruh Madura. Lagipula ia tidak merasa khawatir melawan senjata Kiai Nenggala milik ayahnya. Setelah Kek Lesap turun dari pertapaannya, ia mempengaruhi penduduk Guluk-guluk dan sekitarnya untuk menyerang Kompeni Belanda dan Keraton Sumenep.
Kek Lesap Menguasai Keraton Sumenep (Kisah Pamekasan)

Mendengar maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokronegoro III, yaitu Raja Sumenep merasa khawatir untuk melawannya. Oleh karena itu, ia lari meloloskan diri (lolos bahasa Madura) untuk meminta perlindungan kepada Kompeni Belanda di Surabaya. Lolosnya itulah yang menyebabkan ia terkenal dengan sebutan Pangeran Lolos.
Di Sumenep tidak ada perlawanan sedikit pun, sehingga Kek Lesap dapat menguasai Keraton Sumenep dengan mudah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza itu, kompeni Belanda mengetahui bahwa Kek Lesap telah memberontak terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu, seluruh kekuatan kompeni Belanda di pusatkan di Madura Barat.
Dari Sumenep, keesokan harinya pasukan Kek Lesap menuju ke arah barat. Kebetulan bupati Adikoro IV sedang pergi melaporkan ke Semarang dan dalam perjalanan pulang, ia singgah di rumah mertuanya, yaitu Pangeran Cakraningrat V. Ia hanya berpesan kepada patihnya yang bernama Raden Ashar, agar memberitahukan kepada mertuanya bahwa daerah kekuasaan Raden Alza telah ditaklukkan. Dari pesan (bahasa Jawa: wekasan) inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan.
Nyi Banu Menikah Dengan Ki Ario Pramono

Kembali kepada cerita mengenai Nyi Banu, ratu rupawan yanga memerintah Pamekasan itu, banyak menarik perhatian penguasa di Pulau Madura. Mereka ingin mempersunting Nyi Banu untuk menjadi isteri. Padahal sejak Nyi Banu masih remaja, hatinya sudah terpikat oleh Ki Ario Pramono, yaitu Kami Tuwo di Madegan, Keraton Sampang.
Begitu juga dengan Ki Ario Pramono, meskipun banyak gadis yang mendekati untuk memikatnya, ia tidak menghiraukannya. Bagi Ki Ario Pramono, hanya Nyi Banulah yang menjadi idaman hatinya, hingga akhirnya mereka menjadi suami isteri. Pesta perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono berlangsung selama 40 hari 40 malam.
Rakyat Pamekasan sangat bergembira karena junjungannya sudah mempunyai pendamping setia untuk bersama-sama memimpin Keraton Pamekasan dan Madegan. Perkawinan Nyi Banu dan Ki Ario Pramono rupanya juga berfungsi memperkuat kedudukan Dinasti Majapahit di Madura.
Semasa Nyi Banu bersama Ki Ario Pramono memerintah, terjadilah peristiwa yang menggelisahkan keturunan Majapahit yang ada di Madura, karena Kerajaan Majapahit runtuh. Mahkota kerajaannya diboyong ke Mataram. Meski demikian, semua penguasa di Madura termasuk Ratu Nyi Banu dan Ki Ario Pramono tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini kelak mengakibatkan hancurnya wangsa (dinasti) Majapahit di Madura.
Seomga bermanfaat tentang sekilas Sejarah Dan Asal Usul Kota Pamekasan Madura

Sejarah Syaichona Moh Kholil Bangkalan

 
KYAI H MOH KHOLIL yang menjadi tokoh panutan umat semasa hidupnya, dilahirkan hari selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H (1835 M) di Kampung Pasar Senen, Desa Demangan, Kecamatan Kota Bangkalan. Beliau adalah anak Kyai Abdul Latief, semasa pemerintahan Adipati Setjodiningrat III atau dikenal dengan nama Sultan Bangkalan II yang diangkat oleh Raffles.
Sejak kecil, KH Moh Kholil oleh ayahnya diharapkan bisa menjadi pemimpin umat, seperti halnya Sunan Gunung Jati yang merupakan Waliullah, pemimpin dan pejuang Islam terkenal. Dambaan itu mengingat masih ada keturunan dengan Sunan Gunung Jati.
Beliau yang kala itu sudah menunjukkan keistimewaan bila dibanding anak-anak seusianya, dididik sendiri oleh sang ayah dengan pengawasan ketat. Ilmu-ilmu yang diajarkan, terutama Ilmu Fiqih dan Ilmu Nahwu dikuasai dengan luar biasa. Telah hafal dengan baik Nadham Al-fiah Ibnu Malik (1000 Bait Ilmu Nahwu)
Mulai Tahun 1850, Kholil mudah belajar ngaji kepada Kyai Muhammad Nur di Pesantren Langitan, Tuban. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Canga’an, Bangil Pasuruan, dan selanjutnya ke pondok Darus Salam Kebun Candi, Pasuruan. Selama Kholil muda mondok dipesantren meminta orangtuanya agar tidak mengirim apapun. Maksudnya, agar ia hidup mandiri.

 

Masjid Syaichona Moh Kholil Martajasah Bangkalan
Semasa mondok di Candi, beliau juga menambah pengetahuan agamanya ke Sidogiri Pasuruan yang berjarak sekitar 7 KM ditempuhnya dengan jalan kaki setiap hari. Dalam perjalanan itu beliau menyempatkan membaca Surat Yasin hingga khatam berkali-kali.
Keinginan untuk menambah ilmu agama diteruskan ke tanah suci Mekkah, sekaligus ingin menunaikan ibadah haji. Untuk itu Kholil muda pindah lagi di pesantren Banyuwangi yang mempunyai kebun kelapa sangat luas. Selama mondok disana beliau bekerja sebagai pemanjat kelapa yang dapat upah 2,5 sen setiap pohonnya.
Dari penghasilan itu uangnya ditabung untuk naik Haji. Bahkan di Pondok pun beliau menjadi juru masak rekan-rekannya sehingga beliau bisa makan bersama.
Baru tahun 1859 beliau Naik Haji ke Mekkah. Namun sebelumnya oleh Orang Tuanya dinikahkan dengan Nyai Asyek, Putri dari Lodra Putih yang menjadi Patih pada pemerintahan saat itu. Ketika menikah, umur beliau 24 Tahun.
Pernikahan dengan Nyai Asyek dikarunia 2 anak, Siti Fatimah dan Mohammad Hasan. Menginjak dewasa, Siti Fatimah dikawinkan dengan Muntaha yang dikenal dengan sebutan KH. Muhammad Thoha, yang kemudian mengasuh pondok di Jengkebuan Bangkalan yang saat ini diasuh oleh KH. Mahfud Hadi (Saat ini beliau telah meninggal dunia) yang juga anggota DPRD Bangkalan.
Lima tahun berada di Mekkah, KH. Moh Kholil kemudian pulang ke Tanah Air, beliau dikenal sebagai ahli Fikh dan tasawuf membuat disegani kyai-kyai lain. beliau dianggap mempunyai ilmu yang dapat mengetahui sebelum kejadian terjadi.

 

Masjid KH Moh. Kholil Bangkalan - Madura
Masjid KH Moh. Kholil Bangkalan – Madura
Sepulang dari Mekkah itulah beliau mendirikan pondok di Demangan. Untuk mendirikan pondok baru ini beliau diberi tanah oleh raja di pinggir jalan tengah kota. Padahal saat itu pondok ditengah kota merupakan hal yang jarang terjadi.
Setelah pondok berdiri dan santri mulai banyak, pada suatu saat beliau bercerita pada para santrinya bahwa pondoknya akan kedatangan macan. Hal inilah yang menjadikan santrinya kebingungan. Ternyata yang datang bukannya macan, tapi Wahab Chasbullah (Mantan Menag) dari Tambak Beras Jombang.
Kedatangan Wahab Chasbullah sebagai santri baru membuat ributnya santri yang lama karena Kyai Kholil meneriaki Wahab sebagai Macan. Teriakan ini disambut oleh para santrinya dengan mengejar-ngejar Wahab. Kejadian ini sempat berulang sampai 3x, yang akhirnya Wahab tertidur dibawah jidor (bedug). Baru keesokan harinya Wahab dipanggil sebagai Santri.

Asal Mula Terbentuk nya Kab. Sampang Di Pulau Madura

Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali), dengan penduduk hampir 4 juta jiwa.

Jembatan Nasional Suramadu merupakan pintu masuk utama menuju Madura, selain itu untuk menuju pulau ini bisa dilalui dari jalur laut ataupun melalui jalur udara. Untuk jalur laut, bisa dilalui dari Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya menuju Pelabuhan Kamal di bangkalan, Selain itu juga bisa dilalui dari Pelabuhan Jangkar Situbondo menuju Pelabuhan Kalianget di Sumenep, ujung timur Madura.

Pulau Madura bentuknya seakan mirip badan Sapi, terdiri dari empat Kabupaten, yaitu : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Madura, Pulau dengan sejarahnya yang panjang, tercermin dari budaya dan keseniannya dengan pengaruh islamnya yang kuat.

Dan Kali Ini Kita Akan Membahas Asal Mula Kab. Sampang
auh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan ke daratan Madura, sekitar abad ke 7 M atau tepatnya pada tahun 835 M, di wilayah Kabupaten Sampang sudah ditemukan adanya komunitas masyarakat. Komunitas ini masih belum berstruktur dan masih berupa padepokan agama Budha dengan seorang “resi” sebagai titik sentralnya.

Sampang-Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dalam wilayah Propinsi Jawa Timur yang secara geografis terletak di antara 113

o 08’ – 113

o 39’ Bujur Timur dan 6

o 05’ – 7

o 13’ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya, dapat dengan melalui Jembatan Suramadu kira-kira 1,5 jam atau dengan perjalanan laut kurang lebih 45 menit dilanjutkan dengan perjalanan darat ± 2 jam.

Sangkala Memet yang terdapat di situs Sumur Dhaksan di Jalan Syuhadak Kelurahan Dalpenang menjadi prasasti yang pertama. Di situs itulah, ditemukan Candra Sangkala atau angka tahun Saka (C,) yang berbunyi:

Kudo Kalih Ngrangsang Ing ButhoSeorang ahli sansekerta menafsirkan, situs Sumur Dhaksan dibuat sekitar tahun 757 C, yang bertepatan dengan tahun 835 Masehi. Berarti, situs tersebut dibuat jauh sebelum berdirinya

Dinasti Syailendra.

“Saat itu, di Sampang sudah ada komunitas masyarakat yang berstruktur dan memiliki padepokan agama Hindu-Budha,” terangnya.

Berdasarkan penjelasan Direktorat Sejarah dan Kepurbakalaan Depdikbud RI, pada jaman itu padepokan tersebut merupakan tempat untuk menggodok kerohanian masyarakat.

Prasasti kedua adalah Sangkala Memet pada situs Buju’ Nandi di Desa Kemoning, Kecamatan Kota Sampang. Pada prasasti tersebut, tertulis Negara Gata Bhuana Agong atau 1301 C, yang bertepatan dengan tahun 1379 Masehi. Sangkala Memet tersebut diperkirakan bekas peninggalan padepokan Hindu-Budha.

Sedangkan prasasti yang ketiga adalah prasasti Bangsacara yang terletak di Kampung Madeggan, Kelurahan Polagan, Kota Sampang. Situs tersebut ditemukan di dasar umpak atau candi belum jadi yang tertulis angka 1305 C, atau bertepatan dengan tahun 1383 Masehi.

“Konon, di daerah ini juga sudah berdiri padepokan Hindu-Budha yang kebenaran berdirinya didukung oleh pitutur atau legenda masyarakat setempat,” terangnya.

Prasasti yang keempat adalah situs Pangeran Santo Merto yang merupakan paman Raden Praseno atau Pangeran

Cakraningrat I yang menjadi penguasa Madura Barat. Pada situs ini, terdapat tulisan Candra Sangkala bertuliskan huruf Hijaiyah tahun 1496 C, atau tahun 1574 Masehi.

Sedangkan situs terakhir adalah Makam Rato Ebuh yang juga terletak di Kampung Madeggan. Di situs tersebut, tertulis angka tahun Saka dan tulisan berbunyi ”

Naga Kapaneh Titis Ing Midi” yang dibuat pada tahun 1545 C, atau tahun 1624 Masehi yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sampang.

Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang diundang sebagai pembicara antara lain, peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.

Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran Santo Merto dinyatakan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tidak ada bukti atau referensi kepustakaan otentik yang mendukung.

Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal Belanda,

HJ De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tidak representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.

“Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yang ditetapkan sebagai acuan untuk menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang,” jelas Ali Daud Bey.

Dibandingkan referensi yang lain, situs Makam Rato Ebuh dilengkapi dan didukung dengan daftar kepustakaan hasil karya ahli sejarah Belanda

HJ De Graff. Sehingga, sangat representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.

Dalam bukunya ”

De Op Komst Van R Trunojoyo” (1940), HJ De Graaf menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1039 Hijriyah yang bertepatan dengan 23 Desember 1624 Masehi, Raja Mataram saat itu Sultan Agung mengangkat dan menetapkan Raden Praseno yang bergelar Pangeran Cakraningrat I menjadi penguasa Madura Barat yang kerajaannya dipusatkan di Sampang.

De Graff menerangkan, dalam surat titahnya, Sultan Agung juga menegaskan bahwa Pangeran Cakraningrat I berhak menerima payung kebesaran kerajaan dan upeti sebesar 20 ribu Gulden.

Secara de jure maupun de facto, surat tersebut merupakan bukti otentik yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Madura Barat yang cakupan kekuasaannya meliputi Sampang, Arosbaya, dan Bangkalan atas terpilihnya Raden Praseno sebagai Raja Madura Barat.

Saat itu, masyarakat Mataram ikut merayakan pengangkatan dan penetapan Pangeran

Cakraningrat I dengan melakukan kegiatan Gebreg Maulid.

Sebenarnya, Pangeran Cakraningrat I adalah salah seorang tawanan

Sultan Mataram saat berlangsungnya perang antara masyarakat Madura dengan Mataram. Tapi, Sultan Agung kemudian mengangkat Raden Praseno yang saat itu masih berumur 6 tahun sebagai anak asuhnya.

Setelah puluhan tahun dibesarkan di lingkungan keluarga Keraton Mataram, akhirnya Raden Praseno menjadi anak emas

Sultan Agung dan dipercaya menjadi Raja Madura Barat pada tahun 1546 Saka atau 1624 M.

Meskipun menjadi penguasa Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I konon jarang berada di Sampang. Sebab, saat itu tenaganya sangat dibutuhkan Sultan Agung untuk mengawal

Kerajaan Mataram. Praktis, jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat seringkali diwakilkan kepada pamannya,

Pangeran Santo Merto.

Beberapa tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I dan putranya

Pangeran Mloyo Kusumo atau

Raden Maluyo akhirnya mangkat di medan perang saat berusaha menghentikan pemberontakan

Pangeran Pekik yang merongrong kepemimpinan Sultan Agung.

Jasad Pangeran Cakraningrat I kemudian dikebumikan di makam raja-raja Mataram di

Imogiri, Jawa Tengah. Perang saudara tersebut akhirnya melengserkan tahta kekuasaan Sultan Agung. Setelah itu, mahkota Kerajaan Mataram diserahkan kepada

Sultan Amangkurat.

Peralihan kekuasaan dari Sultan Agung kepada Sultan Amangkurat ini, berimbas pada jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat. Mahkota kerajaan yang seharusnya diserahkan kepada

Raden Nila Prawita atau

Pangeran Trunojoyo, justru diserahkan kepada

Pangeran Cakraningrat II.

Karena tidak terima dengan keputusan Raja Mataram Sultan Amangkurat, Pangeran Trunojoyo akhirnya melakukan pemberontakan. Konon, kepemimpinan Pangeran Cakraningrat II ini dilakukan secara sewenang-wenang, korup, dan bejat.

Merasa tidak aman dengan ancaman dan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, akhirnya pusat Kerajaan Madura Barat dipindah dari Madeggan di Sampang ke daerah Kwanyar, Bangkalan. Beberapa saat kemudian, tahta kerajaan dipindah lagi ke daerah Arosbaya, Bangkalan.

Kegigihan perjuangan Pangeran Trunojoyo akhirnya membuahkan hasil. Tidak hanya Kerajaan Madura Barat saja yang berhasil digulingkan. Tapi, tahta Kerajaan Mataram pun akhirnya berhasil direbut.

Meskipun berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi

Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Yang dia inginkan, hanyalah menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar

Panembahan Maduretno.

Walaupun menolak menduduki tahta Kerajaan Mataram, Panembahan Maduretno tetap membawa mahkota Kerajaan Mataram. Dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama Sultan Amangkurat tidak bersedia memutuskan kerjasama dengan Belanda. Setelah tuntutan itu dipenuhi, akhirnya mahkota Kerajaan Mataram pun dikembalikan.

Selama menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat, Pangeran Trunojoyo meninggalkan monumen bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sampang. Diantaranya adalah

Monumen Trunojoyo yang dijadikan sebagai pusat latihan kelaskaran prajurit Kerajaan Madura Barat.

Sampai saat ini,

Monumen Pebabaran sebagai tempat kelahiran Pangeran Trunojoyo yang terlokasi di Jalan Pahlawan Gg VIII Kota Sampang masih terawat dengan baik. Menurut legenda masyarakat setempat, di lokasi inilah ari-ari pahlawan rakyat Madura tersebut ditanam oleh kedua orangtuanya…

Kecamatan Jumlah Desa Kode Pos Banyuates 20 69263 Camplong 14 69281 Jrengik 14 69272 Karang Penang 7 69254

Kedungdung 18 69252 Ketapang 14 69261 Omben 20 69291 Pangarengan 6 69271 Robatal 9 69254 Sampang 18 69212-69216 Sokobanah 12 69262 Sreseh 12 69273 Tambelangan 10 69253 Torjun 12 69271…

Adipati yang pernah berkuasa di Sampang

• Ario Lembu Peteng ( Ki Ageng Tarub II) atau Bondan Kejawan• Ario Menger• Ario Pratikel• Kyai Demang• Kyai Adipati Pramono• Adipati Nugeroho (Bonorogo)• Adipati Pamadekan• Pangeran Adipati Mertosari• Raden Temenggung Purbonegoro• Raden Ario Meloyokoesuma• Raden Ario Koesuma Adiningrat Temenggung (1885 -)• Raden Ario Temenggung Candranegoro• Raden Ario Adipati Secodiningrat• Raden Ario Suryowinoto• Raden Temenggung Kartoamiprojo• Raden Ario Sosrowinoto (1929 – 1931) Dari tahun 1931 sampai 1949, Sampang hanya subdivisi dari Kabupaten Pamekasan

Sejarah Berdirinya Kab. Bangkalan Madura

Sejarah perkembangan Islam di Bangkalan diawali dari masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur. Beliau adalah anak Raja Pragalba, pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, kerajaan ini keberadaannya sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara.

Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja pada 24 Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran, dia bermimpi didatangi seorang  Alim dan menyuruh Pangeran Pratanu untuk memeluk agama Islam. Mimpinya ini diceritakan kepada ayahandanya selanjutnya sang Ayah memerintahkan patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.

Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya, bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya ilmi tersebut kepada Pangeran Pratanu.  Pangeran Pratanu sempat marah setelah tahu Bageno masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu, Pangeran Pratanu menjadi maklum.

Setelah Pangeran Pratanu sendiri masuk Islam dan mempelajari agama itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke seluruh warga Arosbaya. Akan tetapi ayahnya, Raja Pragalba sampai wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu belum masuk Islam.  Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di Bangkalan. Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari Sampang. Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh pada saat itu. Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan Raden Pragalba. Pragalba menikahi tiga wanita.

Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai raja Islam pertama di Madura. Pratanu menikah dengan putri dari Pajang yang memperoleh keturunan lima orang :

Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang,

Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan ayahnya ketika Pratanu wafat,

Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega,

Ratu Mas di Pasuruan,

Ratu Ayu.

Tahun 1624, Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas. Pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit gugur.

Minggu 15 September 1624, pertempuran yang mendadak ini merupakan perang besar dan memakan korban yang besar pula, laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.

Luka di punggung itu membuktikan bahwa mereka melarikan diri, yang dianggap mengingkari jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I.

Keturunan dari Tjakraningrat inilah yang selanjutnya mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan. Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya kekuasaan dan kewajibnya di Madura diserahkan kepada Sontomerto, sebab ia sering tidak berada di Sampang, ia  sering pergi ke Mataram melapor sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan. Setelah istrinya (adik Sultan Agung wafat),  Tjakraningrat  menikah dengan dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), Baru dari perkawinan inilah Tjakraningrat dikaruniai tiga orang anak.

Sedangkan dari selir yang lainnya Tjakraningrat  dikaruniai beberapa orang anak (Tertulis pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu).

Tahun 1891,  Bangkalan mulai berkembang sebagai pusat kerajaan yang menguasai seluruh kekuasaan- kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Namun Raja ini banyak berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.

Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut ‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan peledak.

Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu.

Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 – 1882

Tahun 1531 – 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
Tahun 1592 – 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
Tahun 1621 – 1624 : Pangeran Mas
Tahun 1624 – 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
Tahun 1648 – 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
Tahun 1707 – 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat  (Pangeran Cakraningrat III)
Tahun 1718 – 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
Tahun 1745 – 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
Tahun 1770 – 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat (Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
Tahun 1780 – 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
(Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
Tahun 1815 – 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
Tahun 1847 – 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
Tahun 1862 – 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)

Wisata Kuliner Rujak Kecamatan Sepulu Bangkalan

Kecamatan Sepulu Bangkalan merupakan salah satu kecamatan di Bangkalan yang pada waktu yang lalu sempat heboh dan terkenal di Indonesia dengan kabar muncul pulau baru di tengah laut sepulu. Sebuah pulau yang terbentuk dari karang yang belum pernah ada sebelumnya namun tiba-tiba saja muncul menjadi sebuah pulau. Akan tetapi, pada kesempatan kali ini kita akan membahas dari sisi lain kecamatan sepulu tersebut yaitu tentang kuliner kecamatan sepulu yang cukup terkenal bagi para masyarakat sekitar yaitu Rujak Pandi di Kecematan Sepulu.

Rujak yang kami maksud tersebut sungguh berbeda dari biasanya kebanyak rujak di Pulau Madura seperti layaknya rujak soto dll. Rujak kecamatan sepuluh tersebut adalah rujak asli dengan campuran bumbu yang ada seperti cabe dengan potongan ketimun, kerupuk, telur puyuh dll. Nah yang unik dari kuliner Madura khas kecamatan sepuluh tersebut adalah penyajianya. Para pembeli diberikan kebebasan untuk “ngrujak” dengan cara penjual rujak tersebut hanya memberikan “rujak khas” sepuluh tersebut sisanya para pembeli silahkan untuk meramu sendiri seperti mengupas ketimun , makan kerupuk, telur puyuh secara mandiri rasanya sepeti warung kita sendiri.

Tidak hanya itu, para pembeli juga harus mengingat habis berapakah ketimun, kerupuk dan makanan yang diambil pembeli sepenuhnya para pembeli dibebaskan untuk itu so kejujuran para pembeli juga sedang di uji.

Rasa rujak Kecamatan Sepuluh ini cukup khas dan ada yang bilang “ngangeni”. Pada ekspedisi di kecamatan sepuluh ini saya ditemani oleh beberapa teman diantaranya “ Anang Hidayat, Sari, Eka, Raden, yogi dan malik. Menikmati rasa khas rujak di kecamatan sepuluh tersebut sebenarnya diluar ekpektasi saya sebelumnya yang menganggap bahwa rujak kec.sepuluh tersebut seperti layaknya rujak-rujak yang ada di pulau Madura yakni rujak soto. Sehingga kami pun tidak sempat untuk sarapan terlebih dahulu pada siang itu, karena semangat berangkat menikmati rujak khas kecamatan sepuluh tersebut. Apabila anda ingin menikmati sensasi khas rujak di Kecamatan Sepuluh tersebut silahkan datang dan buktikan.

Wisata Lebah Di Pamekasan Madura

Jika Kita Tau Di Kabupaten Pamekasan, terdapat kawasan Agro Sentana Wisata yang terletak di Desa Bajur, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan, dengan produk unggulan lebah madu, madu yang dihasilkan adalah madu asli.

Salah satu Kelompok tani, yakni kelompok tani  Baru Muncul memelihara lebah madu dengan jumlah banyak, bahkan jumlahnya mencapai 80 kelompok lebah madu.

Pengelola ternak lebah madu itu Harianto (45) menuturkan, ia telah memulai usahanya itu sejak tahun 2009, meskipun sulit diawal merintis usahanya itu, tetapi akhirnya saat ini berjalan sukses.

Di sebuah gubuk yang terbuat dari bambu, sebanyak 80 kotak lebah madu yang berisikan lebah milik Harianto digantung.

Dikatakan, madu yang dihasilkan oleh lebah yang dipelaiharanya itu banyak diminti oleh pembeli, bahkan tidak sedikit yang datang ke rumahnya untuk membeli madu.

“Ini saya panen minimal 2 kali dalam setahun, sekali panen bisa sekitar 600 sampai 800 botol,” katanya menjelaskan.

Satu botol madu, kata dia, dihargai Rp. 400 ribu, tetapi meskipun harganya tergolong mahal, tetapi karena kualitasnya yang bagus, sehingga tetap diminati pembeli.

“Ini kan madu asli pak, jadi tetap saja banyak yang beli,” paparnya.

Tidak hanya Harianto, tetapi hampir seluruh warga di Desa Bajur juga memelihara lebah madu, dan sudah menjadi mata pencaharaiannya.

Salah satu anggota Komisi II DPRD Pamekasan Rida’i saat berkunjung bersama komisinya ke kawasan Agro Sentana Wisata Desa Bajur, Kecamatan Waru, Rabu (26/11/14) pagi, menuturkan, pihaknya sangat mengapresiasi dan terus memberikan dorongan terhadap usaha lebah madu tersebut.

“Ini luar biasa, dan perlu kita dukung bersama-sama agar terus berkembang,” kata politikus Gerindra itu.

Diharapkan, usaha lebah Madu di Desa Bajur, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan itu bisa dikenal tidak hanya di Pulau Madura, tetapi hingga keluar daerah.

“Ini kualitas madunya sangat bagus, ini madu asli, dan pasti banyak yang membutuhkan, sebab ini banyak khasiatnya,” terangnya.

Kedepan, kata dia, pihaknya akan terus memberikan dorongan agar usaha lebah madu warga terus berkembang dan dikelola dengan lebih modern.

Nikmat nya Wisata Kuliner Sate Lalat di Pamekasan

Sate Lalat  adalah potongan daging yang ditusuk dengan bambu kecil lalu dimasak dengan cara dipanggang di atas bara api, sehingga dari kepulan asapnya ada aroma gurih khas daging yang nikmat dan menggoda rasa.

Tetapi di kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, ada sate lalat. Tenang, bukan lalat sungguhan yang dipanggang untuk dijadikan sate, tetapi daging yang dipotong kecil-kecil seukuran lalat lalu dipanggang seperti sate pada umumnya.

Sate lalat ini hanya bisa dijumpai di Kabupaten Pamekasan dan menjadi kuliner khas kabupaten pendidikan itu, seperti yang dijual di warung Pak Ento yang terletak di kawasan kuliner Saesalera 1 Jalan Niaga Pamekasan.

Pak Ento, yang sudah berjualan sejak 25 tahun lamanya itu, menjual sate lalat dengan berbagai jenis daging, mulai ayam, kambing dan sapi, jadi anda tinggal memilih daging yang anda sukai.

Kepada mediamadura.com, Pak Ento mengatakan, ia menjual satu porsi sate lalatnya itu seharga Rp. 11 ribu. Satu porsi sate lalat pak ento sebanyak 15 tusuk.

“Kalau satenya saja Rp. 9 ribu mas, ditambah lontongnya jadi Rp. 11 ribu,” katanya.

Dijelaskan, selama ini, selain warga lokal Madura, pelanggannya banyak warga diluar pulau Madura, bahkan banyak tamu dari kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung serta kota-kota besar lainnya.

“Sate lalat ini berbeda dengan sate biasanya mas, selain potongannya yang kecil-kecil, juga bumbunya juga khusus,” tuturnya.

Salah satu pelanggan sate lalat, Abdur mengatakan, sate lalat khas pak Ento itu merupakan kesukaannya, sebab bumbunya memang khas dan berbeda dengan sate biasanya.

“Saya sering kesini mas, soalnya satenya enak dan bumbunya nikmat,” katanya saat ditemui di warung paka Ento.(EA/MM).

Mengenal Suku Madura dan Tatakrama Orang madura

Sejarah suku Madura

Dikisahkan bahwa ada suatu negara yang bernama Mendang kamulan dengan seorang Raja yang bernama Sang yang tunggal beliau mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil dan diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri kesayangannya tidak bisa masuk akal akhirnya dia menyuruh sang Patih yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu.

Karena tidak tega melihat putri Bendoro ging maka ia tidak membunuh anak Raja itu melainkan mengasingkannya ke tepi laut sambil berucap pergilah ke “Madu Oro” (waktu itu hanya sebuah dua bukit di tengah laut yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di Bangkalan dan bukit yang kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan patihyang baik hati itu tidak kembali ke Istana dengan tujuan takut di bunuh oleh raja karena telah melalaikan tugasnya dia juga merubah namanya dengan Ki Poleng serta melepas pakaian kebangsawanannya dan di ganti dengan kain tenun (kain sederhana yang kemudian menjadi ciri khas orang Madura).

Putri raja yang hamil yang malang merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Ki Poleng dengan cara mengepakkan kakinya kebumi sebanyak tiga kali sesuai petunjuknya dulu. Tidak lama kemudian Ki Poleng datang dan mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak Akhirnya putra tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia lahir ditengah laut). Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan dua bukitditengah lautan. Sedangkan asal usul penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.

Sistem Teknologi dan Mata Pencaharian Suku Madura

Secara histori, Madura selama berabad-abad berada di bawah pengaruh kekuasaankerajaan Hindu seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit. Lalu sempat dibawah kepemimpinan kerajaan Islam Demak akan tetapi setelah itu Madura berada di bawah Kekuasaan kolonial Belanda selama kurun waktu yang tidak pendek sampai akhirnya Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.Nah, sejak masa itulah tiada perkembangan berarti dalam segi sistem teknologi dan mata pencaharian namun bila berbicara masalah Sistem teknologi suku Madura yang jelas tidak bisa lepas dari yang namanya cangkul, clurit, jala dan sapi sebab mereka telah Masyhur  melakukan tradisi mata pencaharian turun temurun dari nenek moyangnya, yaitu bertani, berkebun, nelayan, penambak ikan walaupun toh banyak juga yang menjadi budak ringgit maupun riyal

Strata Sosial Suku Madura

Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu seperti suku Minang atau menurut keduanya seperti suku Jawa, namun Adapula yang menentukan berdasarkan percampuran ras seperti sebutan orang Peranakan untuk campuran bangsa Melayu dengan Tionghoa,orang Indo sebutan campuran bule dengan bangsa Melayu dan bahkan pengelompokan etnis juga ditentukan menurut agama misalnya sebutan Melayu diIndonesia maupun Malaysia untuk orang bumiputera yang muslim, orang Serani bagi yang beragama Nasrani, suku Muslim di Bosnia, orang Moro atau Bangsamoro di Filipina Selatan, dan sebagainya begitu pula pembagian etnis di Pulau Madura.

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yangkeras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajinbekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikitpenghasilannya Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuatbahkan Prof. Dr. Deliar Noer menyebutkan: Madura adalah benteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadangmelakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji) Jadi tidak perlu heran Jika Aceh dikenal sebagai serambi Mekkah, maka Madura adalahserambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati labelistimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut di tuangkan kedalam unsur – unsur prilaku kehidupan sehari – hari yaitu:

Kesopanan

Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta’tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar).Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat danajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuaidengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiap tindakannya

Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube’,ma’ celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya)

Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubunganan targenerasi, kelamin, pangkat dan posisi social.

Kehormatan

Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan,apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi,sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya ungkapan madu ben dere (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula.

Sebaliknya,bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangatnampak dari ajaran ja’ nobi’ oreng mon aba’na e tobi’ sake‘ (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang). Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalum enekankan bahwa tambana todus mate’ (obatnya malu adalah mati).

lebih bagus apotetolang etembang apote mata (lebih baik mati dari pada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego,wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air.

Agama

Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yangmenyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati.Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.

Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakatMadura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura namun Tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak awal yang sering ‘membidani’ perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah Harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orangMadura, mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang PoteMata” . Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok  juga berasal dari sifat itu

Kesenian dan Keagamaan Suku Madura

Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas local. Berikut contoh keseniannya :

Tembang Macapat

Tembang macapat adalah tembang yang dipakai sebagai media untuk memuji Allah sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh sentuhan lembut danmembawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran,anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbu daya. Melalui tembang ini setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup. Syair tembangmacapat merupakan manivestasi hubungan manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

Saronen

Sarone adalah musik sangat serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingannya. Walaupun musik saronen adalah perpaduan dari beberapa alatmusik, namun yang paling dominan adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebaga ialat musik utama, alat musik tersebut bernama saronen yang bersal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Sumenep dengan akar kata senninan (hari senin) sebab kebanyakan dilantunkan pada hari senin.

Duplang

Tari duplang merupakan tari yang spesifik, unik dan langka. Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupa kan sebuah penggambaran kehidupan seorang wanita desa. Wanita yang bekerja keras sebagai petani yang selama ini terlupakan.Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai.

Kerapan Sapi

sebuah perlombaan dengan menggunakan sapi sebagai media, akan tetapi sekarang jarang dilakukan karena dianggap menyakiti hewan yang juga mahluk hidup Masalah agama di Pulau Garam Madura tidak perlu di ragukan lagi kentalnya bahkan akhir – akhir ini beberapa kabupaten sedang merintis daerah berbasis syari`atislam seperti di Bangkalan dengan prakarsa R.KH. Fuad Amin Imran akan di terapkan system Tarbiyatul islam kaaffah dengan dimulai dengan pembelajaran syari`at islam sejak usia dini melalui pendidikan pada seluruh siswa sekolah dasar dan Pamekasan dengan istilah Gerbang Salam melalui rumusan trend seragam sekolah yang menutupi aurat. Pembicaraan tentang agama bagi masyarakat Madura adalah identik dengan Islam. Islam adalah sangat meresap dan mewarnai pola kehidupan masyarakat. Betapa pentingnya nilai-nilai agama terungkap dari ajaran abantal syahadat, asapo’ angin,apajung Allah. Artinya , masyarakat Madura sangat religius. Masyarakat Madura tergolong pemeluk Islam yang taat. Demikian lekatnya Islam pada masyarakat Madura,sehingga akan terdengar aneh apabila ada orang Madura yang tidak beragaman Islam.Akan tetapi ada juga masyarakat Madura yang memeluk agama lain namun bukan faktor bawaan dari lahir melainkan faktor perkawinan silang ataupun transmigrasi penduduk .

Untuk mengilustrasikan Suku Madura sebenarnya kita hanya butuh mengkaji satu bait syair yang dilonratkan oleh Syekh Abdul Madjid Al – Manduri yang berbunyi :

وما شيء اذا زدناه ينقص وان ينقص باذن لله زاد

Dengan makna sastra tinggi ; Sebab bagaimanapun Madura memiliki nilai hitam dan putih dengan katagori Analisa perkembangan penduduk yang banyak namun hidup diluar daerahnya atau melalui katagori strata sosialnya baik namun kasar atau pula dengan katagori seni baik namun bertentangan dengan naluri mahluk hidup seperti kerapan sapi

asal mula Tujuh Sumur Bertuah ” Petilasan Pangeran Panji Laras “

img_20131016_101416

 Tujuh Sumur Petilasan Pangeran Panji Laras terletak di desa Madegan Kelurahan Polagen 2 km dari pusat kota. Sumur ini diketemukan oleh seorang penduduk setempat bernama H.ikhsan mawardi, diceritakan pada suatu malam tepatnya pada bulan November 2009 pada pk 02.00 dini hari dia bertawasul (nyepi/ semedi), dalam tawasul tersebut dia bertemu dengan sosok orang tua berjubah putih dan berjenggot putih, dalam pertemuannya tersebut dia diperintahkan oleh pria tua untuk segera menggali tujuh sumur yang dimaksud.

Pada bulan Desember 2009 tepatnya pada hari kamis malam jum’at kliwon, dia melakukan tawassul lagi untuk berdoa dan mencari petunjuk lagi tentang keberadaan sumur tersebut. Dengan petunjuk yang diperoleh, pada bulan Januari 2010 dilakukan proses pencarian, diawali dengan acara Rokatan (slametan/kenduri) kemudian dilakukan dengan ritual penancapan lidi ditanah sedalam 35 cm, secara tidak masuk akal lidi yang ditancapkan pada saat itu bergetar jika ditancapkan pada tanah yang terdapat lokasi sumurnya, ritual penancapan lidi ini dilakukan berulang kali hingga diketemukan sampai tujuh lokasi sumur.

Dari tujuh sumur tersebut masing masing mempunyai tuah dan khasiat, diantaranya:

Sumur Suci merupakan bekas sumur tempat mengambil wudhu’ Panji Laras dan kerabatnya

IMG_20131016_101236

Sumur Pemandian Kuda merupakan sumur yang mempunyai beberapa keistimewaan diantaranya:

  • Pada malam rabu kliwon airnya berbau seperti kulit kuda
  • mencitrakan rasa yang berbeda pada setiap orang yang mencicipi airnya
  • pada malam jum’at kliwon airnya berwarna merah
  • mempunyai kasiat memperkuat janin jika diusapkan pada perut ibu hamil tua dan mempermudah proses kelahiran

IMG_20131016_101416

Sumur Asah Tajih keistimewaan sumur ini adalah :

  • tanahnya berbau harum
  • pada jaman dulu para penjudi sering menggunakan air sumur ini untuk memandikan ayam sabungannya karena

menurut mitos yang ada, jika ayam sabungan dimandikan dengan air ini akan menjadi kuat.

IMG_20131016_101425

Sumur Pemandian para kerabat panji mempunyai keistimewaan;

  • mempunyai khasiat menyembuhkan penyakit kulit seperti gatal gatal dan linu

IMG_20131016_101733

Sumur pertemuan tamu

  • sumur ini mempunyai sejarah pada jaman kerajaan Madura, Sampang merupakan tempat yang di khususkan untuk mandi para tamu kerajaan.

IMG_20131016_103233

Sumur pemandian ayam

  • air sumur ini mempunyai khasiat mengobati penyakit hernia, kurang gizi dan polio.

sumur tujuh 7

Sumur taman

merupakan sumur bekas pemandian R.A Kumala Intan yang cantik jelita dan Panji Laras beserta keluarganya, air sumur ini dipercaya oleh masyarakat setempat biasa membuat awet muda, tubuh menjadi cantik, sebagai penolak sangkal mencari jodoh dan lokasi sumur ini terletak di dekat makam R.A Kumala Intan

IMG_20131016_101222

Sumber : Museum Trunojoyo

Budaya Dan Wisata Alam Purbakala Kab. Sampang

Bagi masyarakat sampang yang mau berlibur , tersedia berbagai alternatif lokasi yang mudah di kunjungi :

Wisata Alam :

Pemandian Sumber Oto’
Pantai Wisata Camplong
Gua Lebar
Goa Macan
Goa Kelelawar
Waduk Klampis
Wisata Hutan Kera Nepa
Air Terjun Toroan
Wisata Waduk Nipah

Wisata Budaya

Atraksi Kerapan Sapi dan Pantai Kerapan Priuk
Atraksi Sapi Sonok

Wisata Purbakala

Situs Pababaran Trunojoyo
Situs Ratu Ebu
Sumur Daksan
Situs Makam Pangeran Santo Merto
Situs makam Bangsacara dan Ragapatmi
Situs Makam Sayyid Ustman Bin Ali Bin Abdillah Al-Habsyi
Tujuh Sumur Bertuah Petilasan Pangeran Panji Laras

Obyek wisata pemandian ini terletak di Desa Taddan, Kec. Camplong,   ditempuh  ± 4 km dari pusat kota melalui jalur arteri nasional yaitu Jalan Sampang – Pamekasan. Obyek wisata ini berupa pemandian / kolam renang dengan sumber mata air alami yang mengandung mineral alami. Fasilitas penunjang pemandian ini sudah memadai, antara lain : tempat parkir, MCK, jalan masuk menuju obyek wisata ini berupa aspal dengan kondisi sedang dengan lebar 2,5 m. Sumber mata air pemandian ini juga dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk mandi.

Pada tahun 2008 – 2010 telah dilaksanakan pembangunan dan rehabilitasi sarana penunjang pemandian Sumber Oto’ diantaranya adalah pembangunan pintu gerbang, loket karcis masuk dan ruang aula serta rehabilitasi pagar kolam, tempat berteduh dan permainan anak-anak. Dalam tahap selanjutnya perlu adanya petugas pelayanan tiket masuk kolam renang dan petugas kebersihan sehingga dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor pariwisata ini.

Sumber : Berbagai Sumber

Menelusuri Fakta Tentang ” Carok ” Di Madura

”Lebih baik berkalang tanah, ……. mati itu lebih terhormat dari pada hidup mananggung aib/malu” sebuah ungakapan orang Madura.

Carok adalah sebuh istilah ”bahasa” Madura kalau kita difinisikan carok merupakan sebuah adegan, pertarungan, duel, yang terdiri dari dua orang atau lebih dimana hal itu dilakukan sebagai penebusan malu/membersihkan nama baik. Banyak orang menyebut carok adalah tradisi/kebudayaan orang Madura, namun menurut keterangan guru saya waktu sekolah di MAN Sumenep, ”carok bukanlah budaya/tradisi, carok dikenal oleh orang sebagai budaya/tradisi, hanya kesalahan persepsi” keterangan itu saya dapat dari guru Geografi waktu kelas X.

Menurutnya jika carok disebut sebagai budaya ditinjau dari unsur mana. Sementara budaya itu memiliki sebuah nilai estetika dan etik. Carok tidak ada nilai-nilai yang memuat hal itu. Carok merukapakan sebuah tindakan yang berdasar pada pelampisan dendam, amarah dll. Orang yang melakukan tindakan bercarok karena mereka tidak bisa mengendalikan emosi dan keegoan mereka, mereka disulut api dendam dan amarah tanpa adanya kontrol, dan tanpa berfikir panjang terhadap tindakan yang mereka lakukan.

Istilah carok yang identik budaya madura memang telah merata di seantero jagat. Klaim carok sebagai buda mungkin perlu ditinjau ulang, mengingat tidak unsur estetik dan etik dalam carok itu sendiri. Kalau carok diklaim sebagai budaya, maka muncullah sebuah pertanyaan baru, mngapa carok diklaim sebagai budaya…? bagai mana proses hingga carok diklaim budaya. Disini tidak akan dibahas mengapa carok diklaim budaya. Tapi kita perlu untuk dipahami bersama adalah apa itu budaya.
Lantas bagaimana dengan pemahaman orang yang memangganggap carok sebagai budaya/tradisi Madura, apakah itu salah ..? sebelum dijawab, alangkah baiknya kita mengenal apa itu budaya/tradisi itu sendiri. Waktu di bangku sekolah SMA, kita dikenalkan apa itu budaya dan unsur-unsurnya, (baca sosilogi budaya dan kebudayaan). Sementaa budaya menurut Raymond Williams “satau-tiga kata yang paling rumit dalam bahasa ingris” dia menawarkan tiga definisi yang sangat luas.

Pertama ”suatau proses umum perkembangan intlektual, spritual dan etis,” kalau kita kaitkan dengan keagaman budaya yang ada di Madura kita bisa melihat perkembangan budaya madura dengan merejuk pada faktor-faktor intlektual, spritual, estetis ”filsuf aung” yang kerap dipraktekkan oleh kia’i warok, seniman dan penyair /sastrawan. hal itu merupakan rumusan budaya yang paling sederhana mudah dipahami.

Kedua budaya bisa sebagai ”pandangan hidup tertentu dari masyarakat, pride, aau kelompok tertentu.” jika kita melihat perkembangan yang ada di Madura dengan memaki definisi ini, berarti kita tidak mesti memikirkan faktor intlektual dan estetisnya, namun perkembangan sastra, hiburan, olah raga, dan upacara ritus religiusnya.

Ketiga, wililiam menyatakan budaya bisa merujuk kepada ”karya dan praktek-praktek intlektual, terutama aktivitas atistik” karna dengan praktek-peraktek itulah, fungsi dan nilai bisa ditunjukkan, ada proses produksi, ada proses menciptakan makna tertentu. Defininisi budaya trakir ini mngarah pada apa yang disebut kaum strukturalis dan postruktualis sebagai ”praktek-praktek penandaan” (signifying practices). Dengan melihat beberapa definisi tersebut kita mngin bisa melihat bebrapa contoh dari beberapa budaya yand ada di madura.

Dari beberapa uraian tentang definisi maka kita bisa melihat kedalam, apakah carok masuk dalam katagori yang disebut oleh Williams atau tidak. Williams menyebutkan bahwa budya adalah sebuah proses intlektual, spritual dan etis—dan bagaimana dengan carok itu sendiri. Apakah carok memiliki unsur keintlektualan, apakah juga didalamnya terdapat unsur spritual dan etis, kalau tidak ada maka anggapa orang yang mengklaim carok sebagai budaya madura gugur dengan sendirinya.
Apa yang terjadi carok seperti yang telah disinggung di atas bahwa dalam carok tidak unsur budaya, carok hanya

Apakah tradisi itu budaya..? teradisi bukanlah budaya, karna teradisi hanya sebuah rutinitas masyarakat, dimana dalam tradisi itu sendiri masih belum ada sebuah kesepakat dan penilaiyan baik/buruk. Tradisi lingkupnya lebih mengarah pada individu, dan tidak akan dikenakan sangsi apa pun bagi yang tidak melakukan tradisi itu sendiri. Contoh kecil adalah tradisi orang Madura, membuang sebagian nasi yang diperolah dari selamatan orang mati, hajatan ketika baru baru datang dari hajatan, atau selamatan orang mati, dengan unka ataau hajatan tertentu.. Membuang sebagian nasi merupakan tradisi orang madura, namun dalam tradisi ini hanya sebagian orang yang mengikuti atau melaksanankan. Bagi anak muda tradisi membuang nasi kini jarang dilakukan karna tak ada sangsi apa pun terhadap orang yang melanggar tradisi tersebut. Lain halnya dengan budaya.

Sementara budaya merupakan sebuah subsistem yang menjadi panutan pandangan bahkan jika orang tidak melakukan hal itu diklaim sebagain orang yang tidak baik, atau akan termarjinalkan oleh masysrakat. Taradisi bukan budaya, namun budaya merupakan sebuah tradisi, rutinitas masyarakat dan bagi yang mengingkarinya akn dikenakan sangsi moral. Contoh penyambutan tamu. Orang madura memiliki solidaritas, dan penghargaan yang tinggi terhadap tamu, dan itu merupakan budaya orang Madura. Jika ada orang yang tidak menyambut tamu dengan baik maka dia dianggap tidak sopan oleh orang lain, ada sangsi moral tersendiri.

Lalu bagai mana dengan carok, apakah carok itu budaya. Sepintas pandangan di atas bisa memberikan sebuah pandangan sebagai jawab awal. Kemudian kita melangkah sedikit, memasuki detail carok itu sendiri. Memang carok mereupakan bagian dari sekala yang ada di Madura. Orang Madura dengan letak geografis yang tandus, panas dan gersang, talah membentuk karakter tersendiri terhadap orang-orang Madura itu sendiri.

Dalam cerita rakyat (masyarakat) orang yang bercarok rata-rata mereka memperebutkan salah satu pasangan wanita, atau mengganggu, mengusik rumah tangga orang. Dari situlah muncul sebuah tendensi carok, tendensi itu merupakan sebuah pengejawantahan, atau pembelaan, agar dia disebut jentelmen/jantan (laki-laki). Terjadinya carok terkadang karna dorongan dari famili terdekat, atau sekedar unjuk gigi dengan kelebihan (kekebalan tubuh) yang dimiliki. Contoh kasus sederhana yang terjadi pada salah seorang pelajar SMA Rudi, Dia memiliki pacar kemudian pacarnya selingkuh, dengan laki-laki lain. Pacar Rudi selingkuh dan diketahui teman-temannya, keudian temannya mengadu terhadap Rudi, disitulah terjadi pnghasutan dan sebagainya, yang pada endingnya Rudi bercarok dengan selingkuhan pacarnya.

Rudi melakukan carok karena dia didorong oleh teman-temannya. Karna dorogan dari temanya itulah inseden meregangan nyawa itu terjadi, akhirnya Rudi mendekan dalm penjara akibat perbuatannya. Rudi malakukan bercarok karna dia ingin dipandang sebagai seoranh lelaki yang jentel/jantan. Carok dilakuakn berdasar keinginan dia sendiri, selingkuhan pacar Rudi tidak ada maksud untuk bercarok namun dia hanya ditekan leh keadaan dimana Rudi membabi buta denngan parang yang ia pegang. Kjadian itu tida diinginngan baik oleh lawan Rudi lebih orang lain, atau kedua orang tua mereka.

Sekali lagi carok bukanlah budaya sepeti asumsi orang carok hanya sebagian dari kesalapahan persepsi. Dalam carok tidak ada unsur estitik dan etika. Carok hanya sebuah peristiwa yang muncul dari individu dan dikecam secara umum oleh masyarakat umum, Madura khususnya. Masyarakat Madura seperti yang disampaikan guru sewaktu SMA tidak ada istilah carok menjadi budaya madura. Carok dikalim oleh orang sebagai budaya Madura lantaran kebetulan orang Madura ada yang bercarok namun keberadaan itu bukanlah budaya.

Banyak hal yang bertentangan, jika carok diklaim atau disebut sebagai budaya. Budaya Madura khususnya. Karena orang Madura sendiri tidak mengenal ”menganggap” carok sebagai budaya di Madura, melainkan sebuah pristiwa biasa, yang tidak ada unsur budaya sedikitpun. Karna Bagaimana pun carok bertentangan dengan adat dan kepercayaan orang Madura. Selain itu carok bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di negara kita indonesia.

Penulis : Mahmudi

Sumber :.http.wordpress

 

Gurih nya Kripik Tete Khas Madura

Keripik Tette adalah camilan dengan bahan dasar singkong yang banyak diminati masyarakat. Disebut “Keripik Tette” karena cara pembuatannya “e tette” (ditumbuk) sampai pipih. Kripik ini hanya dibuat di Pamekasan.

Nur (32), adalah perempuan yang kesehariannya menjual Keripik Tette di area Pasar Gurem, Pamekasan. Warga Naroan ini menceritakan bahwa kripik jualannya sangat gurih.

“Keripik ini enak sekali mas, gak akan rugi pokoknya kalo beli”, rayunya, Kamis (27/11/2014).

Sayangnya, Keripik Tette tidak dipasarkan di toko-toko modern, adanya hanya di pasar tradisional, dan di komplek wisata seperti Batu Ampar dan Api Tak Kunjung Padam.

Harga keripik ini sangat terjangkau, Rp. 7.000/100 keping untuk yang ukuran kecil, dan Rp. 10.000/100 keping untuk ukuran besar. Jadi, Siapa saja bisa menikmati gurihnya Kripik Tette tanpa menguras isi kantong.

Cara menyajikannya cukup mudah, goreng lalu sajikan, lebih nikmat bila disajikan dengan petis Madura. Kripik ini juga sering dibuat oleh-oleh orang Madura yang akan bepergian ke luar kota.(adie/htn)

Biografi Makam ” Aer Mata “

97

Alkisah, … tersebutlah pada jaman dahulu, pada jaman pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Pada suatu hari beliau kedatangan rombongan dari Sampang Madura yang dipimpin oleh Panembahan Juru Kiting. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk menghadapkan seseorang yang bernama Raden Praseno yaitu salah satu putra Raja Arosbaya yang bernama Raden Koro yang bergelar Pangeran tengah.
Setelah maksud kedatangannya dijelaskan kepada Sultan agung tentang asal usul R. Praseno, kemudian beliau merasa sangat iba dan menaruh rasa sayang kepada R. Praseno. Hal ini disebabkan antara lain karena ia telah ditinggalkan oleh ayahnya ketika ia masih kecil.
Karena itulah kemudian R. Praseno mendapat kepercayaan dari Sultan agung dan diangkat untuk menjadi raja dan diberi kekuasaan di Arosbaya, berkedudukan di Sampang dengan mendapat gelar Pangeran Cakraningrat I menggantikan pamannya yang bernama Pangeran Mas.
Beliau mempunyai seorang permaisuri yang bernama Syarifah Ambami.
Walaupun P. Cakraningrat I ini memerintah di Madura, tetapi beliau banyak menghabiskan waktunya di Mataram, membantu Sultan Agung. Sedang pemerintahan di Madura, selama beliau berada di Mataram, tetap berjalan lancar.
Melihat keadaan yang demikian, istrinya Syarifah Ambami merasa sangat sedih. Siang malam beliau menangis meratapi dirinya.
Akhirnya beliau bertekat untuk menjalankan pertapaan. Kemudian bertapalah beliau disebuah bukit yang terletak di daerah Buduran Arosbaya.
Dalam tapanya itu beliau senantiasa memohon dan berdo’a kepada Yang Maha Kuasa, semoga keturunannya kelak sampai pada tujuh turunan dapat ditakdirkan untuk menjadi penguasa pemerintahan di Madura.
Dikisahkan pula bahwa dallam pertapaannya itu beliau bertemu dengan nabi Haidir AS. Dari pertemuannya itu pulalah beliau memperoleh kabar bahwa permohonannya insyaallah dikabulkan.
Betapa senangnya hati beliau, akhirnya beliau bergegas pulang kembali ke Sampang.
Selang beberapa lama kemudian P. Cakraningrat I datang dari Mataram .
Diceritakanlah semua pengalamannya semenjak suaminya berada di Mataram, bahwa beliau menjalankan pertapaan dan diceritakan pula hasil pertapaannya kepada P. Cakraningrat I.
Setelah selesai mendengarkan cerita istrinya itu, P. Cakraningrat I bukanlah merasa senang, akan tetapi beliau merasa bersedih dan kecewa terhadap istrinya, mengapa beliau hanya berdo’a dan memohon hanya sampai tujuh turunan saja.
Melihat kekecewaan yang terjadi pada diri P. Cakraningrat I ini, beliau merasa berdosa dan bersalah terhadap suaminya.
Setelah P. Cakraningrat I kembali ke Mataram, beliau pergi bertapa lagi ketempat pertapaannya yang dulu. Beliau memohon agar semua kesalahan dan dosa terhadap suaminya diampuni.
Dengan perasaan sedih beliau terus menjalani pertapaannya. Beliau selalu menangis, menangis dan terus menangis, sehingga air matanya mengalir membanjiri sekeliling tempat pertapaannya, sampai beliau wafat dan dikebumikan ditempat pertapaannya, yang sampai sekarang kita kenal dengan nama : MAKAM AER MATA

Daftar Pustaka :
Mestu, Drs. Slamet.2003.SITUS PEMAKAMAN RAJA – RAJA BANGKALAN.Bangkalan:Kasi Kesenian, Pengembangan Bahasa dan Budaya Dinas P dan K Kab. Bangkalan