Sejarah Munculnya Kyai Madura

artikel tentang: Sejarah Munculnya Kyai Madura

judul artikel: Sejarah Kyai Madura

 

 

Banyak Ulama-ulama besar yang sangat terkenal bermunculan di Pulau Madura, salah satu yang paling fenomenal sampai sekarang yaitu KH. Syekh Kholil. Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab “Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: “Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.

Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).

Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencaripeluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.

Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalahorang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.

Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.

Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).

Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.

Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.

Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: “Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapitetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.

“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.”

“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”

Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.

(Visited 220 times, 1 visits today)

Your email address will not be published. Required fields are marked *