Cara Warga Ketapang Melestarikan Alam

Judul Artikel : Cara Warga Ketapang Melestarikan Pohon Berusia Tua

 

Ada cara unik yang dilakukan warga Kecamatan Ketapang dalam melestarikan alam. Salah satunya dengan mempertahankan mitos. Ternyata cara itu mampu melestarikan tanaman di kecamatan tersebut. Salah satunya di Desa Rabiyan. Di desa tersebut terdapat pohon yang diyakini berumur 200 tahun. Pohon tersebut biasa menjadi tempat berdoa saat menyambut 10 Muharam.

Satu hari menjelang 10 Muharam 1436 Hijriah (Minggu, 2/11), ratusan warga Desa Rabiyan berkumpul di bawah pohon nangger besar setinggi 60 meter. Satu per satu mereka berdatangan. Alas seadanya yang terbuat dari terpal, perlahan disesaki ratusan warga yang duduk bersila sambil menunggu azan Isya tiba.

Setelah kumandang azan terdengar, warga yang sudah berkumpul kemudian mendirikan salat di samping pohon nangger yang dikeramatkan itu. Khusus malam ini, warga setempat memang menjalankan salat di sekitar pohon nangger. Pemandangan seperti ini hanya bisa dijumpai satu tahun satu kali.

Usai menjalankan salat Isya berjamaah, warga pun langsung bersama-sama membaca Alquran dan doa bersama. Ritual tersebut berlangsung hingga pukul 21.30. Menurut tokoh setempat, Abd Rosyid, 38, kegiatan itu dilakukan atas kesepakatan warga.

Menurut Rosyid, pohon tersebut dikenal angker. Karena itu, lanjutnya, warganya meyakini jika pohon berumur ratusan tahun tersebut perlu diruwat. Nah, setiap menjelang 10 Muharam inilah warga meruwat pohon tersebut dengan menjalankan salat, mengaji, dan berdoa di bawah pohon tersebut.

Anggapan angker pada pohon nangger tersebut bukanlah bualan semata. Warga setempat meyakini jika pohon tersebut tidak diperlakukan seperti itu, maka akan berdampak buruk. Menurutnya, beberapa waktu lalu ada orang yang duduk di bawah pohon tersebut. Tiba-tiba lemas dan langsung meninggal. Empat puluh hari kemudian, terjadi peristiwa serupa.

Dari kejadian itulah masyarakat mencoba melakukan pengajian di sekitar pohon nangger. ”Muncul kesepakatan sejak lima tahun lalu pada malam Asyura digelar doa bersama,” ujar pria yang rumahnya tak jauh dari pohon ini.

Rosyid menambahkan, pohon yang terletak di sisi timur jalan poros desa itu, juga menjadi penanda pergantian musim. Menurutnya, menjelang musim hujan, biasanya daun pohon nangger tersebut tumbuh. Setelah dedaunan lebat, biasanya hujan turun lebat.

Lain lagi ketika musim hujan akan segera selesai. Daun-daun pohon angker ini biasanya berguguran. Setelah semua daun rontok, kemarau pun biasanya datang.

Tak hanya itu, pohon tersebut menjadi pedoman nelayan. Maklum, tinggi pohon mencapai 60 meter. ”Pohon ini menjadi pedoman para nelayan agar tidak kehilangan arah ketika di laut. Sebab, di kawasan ini tidak ada mercusuar,” paparnya.

Moh. Faiz, 25, warga Desa Rabiyan yang selalu hadir dalam ritual tahunan tersebut mengatakan lebih melihat pada sisi positif dalam ritual Asyura tersebut. Menurutnya, berdoa bersama di tempat terbuka memberikan kesan adanya keselarasan dengan alam. Menurutnya, kegiatan tersebut merupakan bagian dari kampanye pentingnya menjaga pohon demi generasi yang akan datang. Misalnya, menyampaikan sejarah pohon itu.

”Melalui momentum keagamaan, disampaikan terkait pentingnya memelihara pohon agar pohon tetap lestari. Misalnya, dalam pengajian ini disampaikan bahwa usia pohon sekitar 200 tahun lebih,” terangnya. (*/fei)

Nikmat Nya Wisata Kuliner Khas Sumenep ” Campor “

campor.. 300x220 Campor, Kuliner Khas Sumenep Yang Bikin Ketagihan

Kuliner yang satu ini sangat merakyat di ujung timur pulau Garam Madura. Tidak hanya kalangan warga biasa yang tumplek disejumlah warung “Campor” yang ada di Sumenep. Dan Kurang lengkap bagi pecinta kuliner bila tidak pernah merasakan nikmatnya “Campor” khas Sumenep, Jawa Timur.

Para pejabat pun suka. Bahkan, Ibu Bupati Sumenep, Nurfitriana sangat suka kuliner yang satu ini. “Memang nikmat luar biasa. Rasanya unik,” kata Fitri sapaan akrab Nurfitriana, Senin (3/11/2014).

Masakan Campor memang mempunyai keunikan tersendiri. Lidah orang luar Madura yang pada umumnya sulit beradaptasi dengan masakan yang bukan dari daerahnya, justru Campor cocok untuk semua penikmat kuliner.

“Pertama kali merasakan Campor, ya di Sumenep ini. Dan saya suka, rasanya cocok dan bikin ketagihan,” ujar Fitri, istri orang nomor satu di Sumenep asal Lombok, Mataram, NTB.

Warga Sumenep menyebutnya “Campor”, karena disajikan dengan cara dicampur yakni, ada ketela pohon, lontong, soon, daun bawang serta tulang muda sapi. Daun bawang dipotong kecil-kecil, kemudian ditaburi diatas makanan dan disirami dengan santan cair.(htn)

Sumber : Portalmadura.com

Mengenal Adat Dan Kepribadiaan Orang Madura

Satu prinsip yang menjadi Fenomena  orang Madura , ialah dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa Solidaritas kepada orang lain

Adat dan kepribadian Orang Madura  merupakan titik tolak terbentuknya watak dengan prinsip teguh yang dipengaruhi oleh karakteristik geografis daerahnya. .

Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesame. Kadang kontradiktif bila melihat penampilan fisik bila dibandingkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu (apalagi tamu jauh), dapat dipastikan mereka sangat dihormati. Mereka berani berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya secangkir air. Kalaupun dapat, mereka berusaha memuaskan dengan jamuan lebih, bahkan berani mencari hutang demi menghormati tamu. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau dicicipi suguhannya, maka tamu tersebut berarti dianggap menginjak penghargaan tuan rumah. Dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam

Sebagai Suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan Dunia luar. Mereka sangat berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang Datang  dari luar merupakan ancaman bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif, yakni berusaha memelihara dan menjamin Nilai -nilai yang mengakar dalam dirinya. Tapi dalam segi yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan bertahan kelangsungan hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar.

Sebagai contoh yang paling gamblang, ketika tentara Bali menerima kekalahan di Sumenep , mereka dihargai sebagai tamu dan sebagai saudara untuk kemudian memperkenalkan cara-cara bertani garam. Maka secepat itu orang-orang setempat menyebarkan keseluruh Madura.

Demikian pula dari kedatangan bangsa Cina ke Madura, banyak mempengaruhi cara hidup dalam sumber mata pencaharian, khususnya dalam ilmu berdagang. Hingga dalam bentuk budayapun sangat berpengaruh dalam bentuk gaya bangunan, sehingga Arsitektur  bangunan di Madura banyak mirip dengan bentuk-bentuk bangunan gaya Cina. Pengaruh arsitektur ini pada awalnya dibawa oleh Lauw Pia Ngo yang membangun Keraton Sumenep dan arsitektur bangunan Masjid  Jamik Sumenep pada jaman pemerintahan Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario Noto Kusumo) tahun 1762-1784 M.

Demikian pula, dengan kedatangan para saudagar Gujarat yang menyiarkan agama Islam di Madura, mampu dan berhasil mengislamkan para pemimpin dan bangsawan Madura sampai menyebar keseluruh pelosok Madura. Dengan bukti-bukti tersebut, maka tidak benar bila watak dan sikap hidup Madura bebal dan sulit diajak kerja sama. Bahkan sebaliknya, justru mereka lebih akrab, terbuka dalam kondisi apapuna.

Namun kemungkinan besar, kalaupun terjadi controversial, terletak pada terputusnya komunikasi bahasa yang orang luar menganggap angkuh dan bertahan. Padahal sebenarnya, bila seseorang mengenal lebih jauh dan berkomunikasi lancer dengan orang Madura maka akan sirna bayangan Keras dan bringas itu. Kecuali terhadap pendatang yang congkak, menyinggung perasaan dan mau merusak harga diri dan hak kepentingannya, maka tak segan-segan mereka akan berbicara melalui Kekerasan . Atau dengan kata lain, meski dengan wajah angker dan bringas belum tentu berarti berprilaku Kasar atau keras. Orang Madura lebih terbuka.

Satu falsafah yang membebani orang Madura menjadi ramah, taat tunduk dan sopan, dalam Bahasa Madura  disebut : Bapa’, Babu’, Guru, Rato ( Bapak, Ibu, Guru, Raja). Rato disini mempunyai pengertian pimpinan atau pemerintah. Maka tak heran bila di Madura sendiri jarang terjadi “ pemberontakan” yang kaitannya dengan permasalahan kepemiminan, selama rakyat diperhatikan keberadaannya. Dan mereka akan memberontak bila ketidakadilan terjadi sebagaimana terjadi pada peristiwa-peristiwa pemberontakan Trunojoyo dan lainnya.

Di lain hal, guru/kiai bagi orang Madura merupakan tokoh sentral yang wajib dianut, terutama diwilayah bagian Timur (Pamekasan -Sumenep). Sedang di wilayah Barat ( Bangkaln – Sampang ) tokoh sentralnya tidak selalu kiai, bahkan tokoh kriminalpun kadang menjadi panutan bagi masyarakat tertentu. Maka tak heran, bila Carok  kerap terjadi di daerah itu.

Meski demikian, paling tidak kriminalitas dan carok di Madura banyak mengalami grafik menurun. Hal ini tentu berkat kesigapan dan pembinaan aparat pemerintah setempat, sehingga keamanan dan ketertiban cukup terjamin. Dua hal yang mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk tidak berbuat criminal, yang pertama adalah kewibawaan aparat keamanan yang mulai menyatu dengan masyarakat, dan yang kedua kekompakan masyarakat untuk menghindar dan menjaga kemungkinan terjadi tindakan criminal serta memelihara keamanan dan ketertiban.

Lalu apa kaitannya, antara watak orang Madura sendiri dengan orang Madura di Jawa? Bila melihat perkembangan Masyarakat madura , pada tahun terkahir ini, hamper tidak dapat dibedakan antara orang Madura dengan orang Madura luar Madura dalam hal perkelahian carok. Sehingga setiap perkelahian yang menggunakan senjata tajam clurit masyarakat secara langsung mengklaim perkelahian dilakukan oleh orang Madura.

Perlu dimaklumi, pada permulaan Sejarah , Madura banyak diisi oleh pendatang dari tanah Jawa, maka pada abad-abad berikutnya setelah hutan di Madura menjadi gundul dan tanahnya menjadi tandus dan gersang, mereka mulai meninggalkan Madura ke tanah Jawa. Hal ini mengakibatkan tanah di Madura semakin tidak terurus yang pada akhirnya datanglah masa-masa Madura disebut sebagai daerah kering dan rawan. Eksodus  orang-orang Madura ke tanah Jawa pada umumnya mendatangi daerah-daerah pesisir bagian timur di Jawa Timur dan menyebar nulai dari Gresik sampai ke Banyuwangi sebagai nelayan dan pedagang. Kemudian pada periode berikutnya mulai merambah kedaerah pegunungan sebagai petani.

Daerah pantai Jawa Timur yang menjadi sasaran mulai dari pantai Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo,  Besuki, Situbondo, dan Banyuwangi. Sedang daerah pertanian yang menjadi sasaran mulai dari Bondowoso, Banyuwangi hingga Lumajang sampai perbatasan Malang. Jadi tak heran bila daerah-daerah tersebut, khususnya bagian wilayah timur bahasa daerahnya menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari.

Dalam hal pertanian, petani Madura memang lebih rajin dan ulet dibanding petani Jawa sendiri. Rajin dan keuletan inilah banyak member kesempatan kepada pendatang orang  asal Madura lebih leluasa membuka lahan pertanian di Jawa. Hal ini disebabkan, cara kerja mereka yang semula berhadapan dengan tanah tandus, lalu beralihlah ke tanah yang subur, maka semakin bergairah. Maka tak heran bila pendatang Madura di daerah itu banyak yang berhasil, bahkan sebagian besar menjadi tuan tanah.

Pada perkembangan berikutnya dari eksodus orang-orang Madura tersebut ke tanah Jawa semakin menyatu dan merasakan tanah baru itu merupakan tanah kelahiran kedua setelah tanah kelahiran nenek miyangnya, Madura. Dan pada gilirannya, justru orang-orang Jawa sendiri nyaris malah dianggap sebagai pendatang.

Secara cultural, pada dasarnya mereka eksodus ke tanah Jawa tidak ada perbedaan dari Kultur  yang dibawanya. Hal ini dapat dilihat dari adat-istiadat dan sikap hidup yang hamper serupa dengan daerah asalnya. Kalau terjadi perubahan hanya terbatas pada hal-hal tertentu, yaitu dalam bentuk fisiknya saja. Meski demikian, masyarakat Jawa yang menyatu dengan kultur Madura, belum berarti memiliki sanak keluarga di Madura. Yang demikian itu merupakan salah satu bentuk perkembangan yang tidak dapat dielakkan, yang mungkin dengan terputusnya komunikasi antara Jawa dan Madura. Akan menjadikan pemisahan suku, meski pada awalnya terbentuk dari suku Madura.

Sumber : Lontar Madura

Daftar Lengkap Wisata Pantai Di Pulau Madura Yang Sangat Mempesona

Madura adalah nama Pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur  Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.168 km2 (lebih kecil daripada pulau Bali , dengan penduduk hampir 4 juta jiwa.

pantai-pantai cantik dan mempesona tersebar dari ujung Bangkalan, Sampang, Pamekasan hingga Sumenep.

 

Bangkalan sebenarnya mempunyai beberapa pantai menarik. Kecamatan Tanjung Bumi mempunyai pantai Siring Kemuning. Pantai ini menjorok ke barat, menyaksikan sunset tentu akan menjadi pemandangan yang begitu romantis.

Di bagian selatan Bangkalan, tepatnya di kecamatan Kwanyar terdapat sebuah pantai karang yang diberi nama pantai Rongkang. Pantai ini menyajikan pemandangan jembatan Suramadu dari kejauhan. Menjadi hiburan tersendiri berfoto bersama keluarga dengan latar belakang jembatan Suramadu.

Sampang mempunya pantai Camplong di pesisir selatang. Setiap wisatawan yang akan pergi ke Pamekasan dan Sumenep melewati sisi selatan Madura pasti akan melewati pantai Camplong. Di dalam kompleks pantai, sudah terdapat hotel dengan nama yang sama hotel Camplong akan menjadi tempat singgah sementara untuk berwisata ke pantai ini.

Di utara Sampang, terdapat pantai Nepa. Pantai ini jarang dikunjungi wisatawan karena letaknya yang jauh. Menyimpan keindahan yang alami dan bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana sepi pantai, bisa mengunjungi pantai ini.

http://plat-m.com/wp-content/uploads/2012/12/pantai_jumiang.jpg

Sama seperti Bangkalan dan Sampang, Pamekasan tidak memiliki banyak wisata pantai. Mungkin hanya Pantai Jumiang dan pantai Talang Siring yang sering dikunjungi wisatawan. Keduanya memberikan keindahan pantai khas Madura. Sepi dan masih alami.

Sumenep adalah kabupaten paling timur di Madura. Sumenep adalah kabupaten paling banyak mempunyai wisata pantai di Madura. Ada banyak pilihan jika wisatawan berwisata ke Sumenep. Berikut beberapa pantai cantik dan mempesona di Sumenep.

Pantai Saebus di pulau Kangean. Untuk mencapai ke pulau ini harus mengikuti kapal yang hanya beroperasi setiap dua minggu sekali, itupun jika cuaca sangat bagus. Tapi Kangen menyimpan surga yang tersembunyi berupa pantai-pantai cantik.

Pulau Mamburit di Sumenep juga memberikan pemandangan yang luar biasa cantik. Suasananya mengingatkan kita akan pantai-pantai di Lombok.

Beberapa mungkin sudah mengetahui pantai Slopeng. Dengan lambaian daun kelapa yang menjulang tinggi memberikan kesan tersendiri bagi setiap pengunjung yang datang. Meski sudah terkenal, tapi tidak banyak turis yang datang.

Beda Kangean, beda juga Pulau Sapeken. Pulau ini memiliki pantai dengan batu-batu besar di pinggirnya. Meski bentuknya tidak sama dengan pantai di Belitong, tetapi cukup memberikan kesan tersendiri mengunjungi satu pulau cantik di gugusan kepulauan Sumenep ini.

Jika sudah bosan dengan gili Trawangan yang ramai dengan bule mancanegara. Ingin menikmati gili Trawangan dalam kemasan berbeda, datanglah ke Gili Labak. Pulau kecil ini mempunyai pantai indah yang masih asri. Air lautnya masih biru dan begitu jernih. Cocok untuk melakukan snorkling di tempat ini. Ngga kalah dengan gili Trawangan, kan?

Pantai ini ngga ada bedanya dengan pantai-pantai yang lain di Sumenep. Namun, konon hanya orang-orang kerajaan yang boleh mengunjungi pantai ini. Pantai Badur namanya. Tertarik datang kesini? Ajaklah warga setempat, niscaya bisa masuk ke pantai indah ini.

Terakhir, siapa yang tidak tahu dengan pantai Lombang. Pantai ini sering disamakan dengan pantai Kuta di Bali. Meski tidak seramai di Bali, pantai ini adalah pantai satu-satunya di dunia yang ditumbuhi cemara udang. Terletak di kecamatan Batang-batang, wisatawan bisa menyewa kuda untuk sekadar menikmati sunset di pantai berpasir putih ini.

 

Sumber : http://plat-m.com

Mengenal Kesenian dan Kebudayaan Madura

Dalam pembahasan artikel ini, akan menceritakan kebudayaan Madura yang memiliki beragam kesenian. Kebudayaan madura ini setiap keseniannya memiliki unsur yang sangat bernilai.

Berbicara mengenai masalah kebudayaan di Indonesia sangatlah banyak. Kebudayaan yang ada di Indonesia berbagai ragam budaya dari sabang sampai merauke, dari sekian banyak budaya salah satu budaya yang ada di Indonesia adalah kebudayaan Madura.

Sebelum kita membahas keseluruhannya dimanakah letak pulau Madura ini ? madura merupakan pulau kecil yang terletak di sebelah jawa timur, yang memiliki banyak kesenian dan kebudayaan yang sudah sejak lama.

Nah bagaimana sejarah kebudayaan madura ini ?  Asal muasal konon, perjalanan Arya Wiraraja sebagai adipati pertama di madura pada abad 13. dalam kitab negara kertagama terutama pada tambang 15, mengatakan bahwa Pulau Madura semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menunjukkan bahwa pada tahun 1365an orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komonitas budaya yang sama.

Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada dibawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa Timur seperti Kediri, Singhasari dan Majapahit. Diantara tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan – kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik dan Surabaya.

Pada Tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. sesudah itu, pada paruh pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda (mulai 1882), mula – mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia – Belanda. Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur.

Sejarah mencatat Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura, diangkat oleh Raja Kartanegara dari singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep, merupakan keraton pertama di Madura. Pengangkatan Aria Wiraraja sebagai Adipati pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara kebesaran kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Di Batuputih yang kini menjadi sebuah Kecamatan kurang lebih 18 Km dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan – peninggalan keraton Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari Satria.

Kebudayaan apa saja yang dimiliki oleh masyarakat Madura :

Rumah Adat

Rumah Adat yang dimiliki oleh masyarakat Madura adalah halaman panjang yang biasa disebut Tanian Lanjang  yang membuktikan kekerabatan masyarakat madura. Rumah adat madura ini memiliki satu pintu didepan rumah, agar pemilik rumah dapat mengontrol aktifitas keluar masuk keluarga. Pintu yang dihiasi ukir – ukiran asli madura. dengan warna hijau dan merah yang memiliki lambang kesetiaan dan perjuangan.

Bahasa Madura

Bahasa Madura yang mempunyai bahasa yang unik. Begitu uniknya sehingga orang luar Madura yang ingin mempelajarinya mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalannya. Bahasa Madura sama seperti bahasa – bahasa di kawasan Jawa dan Bali, kemudian mengenal Tingkat – tingkatan, namun agak berbeda karena hanya terbagi atas tingkatan yakni :

  • Ja’ – iya (sama dengan ngoko)
  • Engghi – Enthen (sama dengan Madya)
  • Engghi – Bunthen (sama dengan Krama)

Senjata Tradisional Madura

Senjata yang dimiliki oleh masyarakat Madura bernama Clurit, bentuknya melengkung seperti arit, mata clurit sangat runcing dan tajam. Gagangnya terbuat dari kayu atau logam.

Pakaian Adat Madura

Pakaian adat masyarakat Madura untuk Pria identik dengan motif garis horizontal yang biasanya berwarna merah putih dan memakai ikat kepala. Lebih terlihat gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa clurit. Dan untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan batik khas Madura dan mengenakan kebaya yang lebih simple.

Musik Saronen

Musik Saronen ini berasal dari Masyarakat Sumenep. Jika di Madura mengadakan kesenian, musik saronen inilah yang akan mengiringinya. Musik saronen merupakan perpaduan dari beberapa alat musik, tetapi yang paling dominan adalah alat musik tiup berupa kerucut. Nah ini lah alat musik tiup yang disebut dengan saronen.

Karapan Sapi

Karapan Sapi  inilah budaya Madura yang sangat terkenal. Kesenian ini diperkenalkan pada abad ke-15 (1561 M) pada masa pemerintahan Pangeran Katandur di daerah Keratin Sumenep. Kerapan sapi ini merupakan lomba memacu sapi paling cepat sampai tujuan. Bertujuan untuk memberikan motivasi kepada para petani agar tetap semangat untuk bekerja dan meningkatkan produksi ternak sapinya.

Upacara Sandhur Pantel

Upacara Sandhur Pantel merupakan sebuah ritual untuk masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani ataupun nelayan. Upacara ritual ini meruapkan upacara yang menghubungkan manusia dengan makhluk ghaib atau sebagai sarana komunikasi manusia dengan Tuhan Pecipta Alam Semesta. Upacara ini berupa tarian dan nyanyian yang diiringi musik.

Madura juga memiliki Tarian Khas diantaranya :

  • Tarian Sholawat Badar atau rampak jidor

Tarian yang dimiliki oleh masyarakat madura ini meruapakan tarian yang menggambarkan karakter orang Madura yang sangat relegius. Seluruh gerak dan alunan irama nyanyian yang mengiringi tari iini mengungkapkan sikap dan ekspresi sebuah puji – pujian, do’a dan zikir kepada Allah SWT.

  • Tarian Topeng Gethak

Tarian Topeng Gethak mengandung nilai fisolofis perjuangan warga Pamekasan saat berupaya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Gerakan Tarian Topeng Gethak ini mengandung makna mengumpulkan masa dimainkan oleh satu hingga tiga orang penari. Asal muasal sebelumnya nama tarian ini bernama Tari Klonoan kata klonoan ini berasal dari kata kelana atau berkelana, bermakna Bolodewo berkelana, dan pada akhirnya Tari Klonoan ini Berubah nama menjadi Tari Topeng Gethak.

  • Tarian Rondhing

Tarian Rondhing ini berasal dari “rot” artinya mundur, dan “kot – konding” artinya bertolak pinggang. Jadi tari rondhing ini memang menggambarkan tarian sebuah pasukan bagaimana saat melakukan baris – berbaris, yang ditariakan oleh 5 orang. Tarian Rondhing ini juga di angkat dari perjuangan masyarakat Pamekasan.

Bagi Turis Asing Kerapan Sapi Masih Menjadi Icon Madura

Judul Artikel : Daya Tarik Asing Meningkat Saat Kerapan Sapi Di Gelar

Karapan sapi (Gubeng), piala Presiden RI, yang merupakan kebudayaan asli warga Madura, menjadi daya tarik tersendiri bagi turis asing.

Pada penyelenggaraan even tahunan di yang digelar di Stadion R.Soenarto Hadiwidjodjo Pamekasan itu, tak kurang dari 200 turis yang ikut menyaksikan kompetisi sapi pacu itu. Minggu (19/10/14) kemarin.

Kepala Badan Kordinasi Wilayah (Bakorwil) 1V Pamekasan Jonathan Junianto mengatakan, pada penyelenggaraan karapan sapi piala Presiden RI itu, banyak turis yang ikut hadir dan menyaksikan kompetisi tersebut.

Banyaknya turis yang hadir itu, karena karapan sapi Madura sudah terkenal dan dikenal di luar negeri. “Cukup banyak, lebih dari 100 orang turis, jadi dari konsulat jenderal Jepang sudah datang, dari china, Consulat Amerika sendiri juga ada disini,” katanya kepada sejumlah wartawan saat menyaksikan karapan sapi di stadion R.Soenarto Hadiwidjodjo Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Minggu (19/10/14) pagi.

Sehingga, kedepan, pihaknya akan berupaya keras untuk terus memperbaiki penyelenggraan karapan sapi tersebut, sehingga warga asing lebih antusias dan lebih banyak lagi yang datang untuk menyaksikan kompetusu sapi pacu itu.

“Selama ini karapan sapi hanya menjadi ajang adu cepat sapi Madura yang sudah membudaya, tetapi tidak dikemas dan dipasarkan dengan baik sebagai sebuah tujuan pariwisata di Jawa Timur bahkan Indonesia,” urainya.

Sehingga, kata mantan sekretaris KPU Jatim itu, pihaknya akan melakukan evaluasi dan merancang agar karapan sapi dan kesenian sape sonok menjadi salah satu tujuan pariwisata di Jawa Timur.

“Kita akan evalusasi kelemahan-kelemahan apa dari yang sudah kita laksanakan sekarang, dan kita harapankan karapan sapi selanjutnya bentul-betul karapan sapi yang profesional. Sehingga informasi tentang karapan sapi, sape sonok bisa diinformasikan secara penuh kepada turis dan orang asing,”

“Jadi karapan sapi ini betul-betul bisa dinikmati menjadi simbol pariwisata yang bisa dijual tetapi ini perlu pembenahan,” timpalnya.

Diharapkan, karapan sapi ini menjadi simbol dari masyarakat Madura yang dikenal keseluruh manca negara. “Kita berharap ini menjadi simbol dari masyarakat Madura, karapan sapi juga bisa menjadi simbol dari Jwa Timur, mungkin juga Indonesia, itu harapan kami,” tegasnya.

Kedepan, kata dia, Bakorwil IV Pamekasan akan merancang informasi secara utuh kepada para turis dan orang asing tentang kebudayaan masyarakat Madura itu.

Sebanyak 24 pasang sapi dari empat kabupaten yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep ikut ambil bagian dalam karapan sapi pacu tersebut untuk menjadi juara dan mendapatkan piala Presiden secara bergilir.

Keenam pasang sapi dari masing-masing Kabupaten itu merupakan juara di penyisihan yang telah digelar sebelumnya, total peserta yang ikut dalam karapan sapi (Gubeng) yakni sebanyak 24 pasang sapi.

Nantinya dari 24 pasanga sapi itu akan dikelompokkan menjadi dua kelompok pemenang, yakni kelompok menang dan kelompok kalah dan piala Presiden itu akan diberikan kepad juara 1 di kelompok menang.

Berdasarkan pantauan mediamadura.com, meskipun karapan sapi digelar ditengah terik matahari yang menyengat dan debu yang menyelimuti stadion, tetapi ribuan penonton tetap menikmati adu kecepatan sapi pacu tersebut.

Untuk diketahui, pada penyelenggaraan Gubeng tahun 2013 lalu, Pasangan sapi Geng Motor, milik Agil, asal Sampang, berhasil merebut juara pertama dan berhak mendapatkan hadiah sebuah mobil Daihatsu Grand Max pikap serta piala Presiden bergilir.

Juara II diraih pasangan sapi Tolato, milik Sutrisno, asal Pamekasan. Ia berhak mendapatkan hadiah sepeda motor  serta piala bergilir. Sedang pasangan sapi Gajah Mada, milik Rasid, Sumenep berada di urutan III dengan hadiah satu unit sepeda motor.

Untuk juara harapan I (golongan kalah), diraih pasangan sapi Dibuh,  milik H Sahid, Sampang, juara harapan II diraih pasangan sapi Perwira, milik Nasiuddin, Pamekasan.  Sementara juara harapan III diraih pasangan sapi Angin Timur, milik Subahri, asal Sampang.(EA/MM)

Sumber : mediamadura.com

 

Pasutri yang belum di karuniai anak mempercayai ” Bujuk Tamoni ” Sebagai Jujukan

Judul Artikel : Cara Cepat Mendapatkan Momongan Di bujuk Tamoni

 

 

Desa/Kecamatan Batuan Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur ramai dikunjungi pasangan suami-istri (Pasutri) yang kesulitan mendapat momongan (keturunan).“Bujuk Tamoni” atau Asta (Makam) Paregi

Mereka yang datang tidak hanya warga Madura, melainkan dari berbagai daerah di Jawa Timur. Bahkan, pasutri dari kota-kota besar seperti Jakarta menyempatkan diri untuk berdoa dan tawasul (sarana).

“Tiga hari yang lalu, ada yang dari Jakarta. Tujuan utamanya memang ke sini (Bujuk Tamoni, red) untuk memohon agar cepat dikarunia keturunan, karena sudah empat tahun nikah belum mendapat momongan,” kata Fatimah, salah seorang nenek yang setia menunggu para tamu di Asta Paregi, Kamis (23/10/2014).

Para tamu (pengunjung) yang datang, mayoritas mempunyai keinginan agar cepat mempunyai keturunan. Mereka sering ‘curhat’ pada penjaga (juru kunci), bahwa telah banyak usaha yang dilakukan termasuk memeriksakan diri kepada tenaga medis, namun sulit mendapatkan keturunan.

“Atas ijin Allah, mereka banyak yang dikabulkan do’anya, sehingga dikarunia keturunan dengan selamat,” terangnya.

Dinamakan “Bujuk Tamoni” karena banyak warga yang datang ketempat tersebut membawa ari-ari dari bayi yang dilahirkan dan diletakkan disebelah barat bangunan makam yang berukuran 6×4 meter.

Tak ayal, jika gundukan ari-ari mencapai + 4 meter. Bahkan, ada yang digantung diatas pohon asam dengan menggunakan wadah berbahan plastik. Ari-ari tersebut mirip seperti “tumbal” yang harus dipersembahkan setelah mendapatkan keturunan.

Ari-ari tersebut dijaga hingga 40 hari oleh juru kunci. Anehnya, tumpukan ari-ari tersebut tidak bau pada lingkungan sekitar. Namun, bagi yang jauh dan tidak memungkinkan untuk membawa ari-ari bayi, bisa ditebus dengan uang. Mereka juga disarankan membawa beras, kopi, gula, kelapa, jajan tujuh warna (jajan pasar) dan bahan-bahan lainnya, layaknya sebuah kebutuhan untuk upacara selamatan.

“Kalau tidak bisa membawa ari-arinya ya tidak ada masalah, bisa ditebus dengan uang. Termasuk untuk membeli beras dan semacamnya,” urai Fatimah tanpa menyebut berapa nilai uang yang harus diserahkan sebagai penggantinya.

Setiap tamu yang datang, disarankan berdoa didekat dua makam (“Bujuk Tamoni”) yang ada didalam sebuah bangunan. Juru kunci juga ikut mendoakan. Lalu, diperkenankan pulang dengan diberi bunga yang ada diatas nisan “Bujuk Tamoni” tersebut.

“Bunga ini, setiap hari ambil sedikit dan campur air. Airnya diminum oleh suami-istri. Insyaallah dalam waktu tidak lama akan segera mendapat keturunan. Yang perlu diingat, bunga yang sudah digunakan tidak boleh dibakar. Buang saja ditempat yang aman,” katanya tanpa menjelaskan akibat bunga jika dibakar.(htn)

Sumber : http://portalmadura.com

Produksi Madu Semakin Meningkat Karna Musim Kemarau

Judul Artikel : Produksi Madu Semakin Meningkat Di Kabupaten Sumenep

Musim kemarau membawa berkah bagi peternak lebah di kabupaten Sumenep, karena produksi madu lebah meningkat , dan  kwalitasnya bagus. Pada musim kemarau ini, produksi madu lebah ternak milik Sumana mengalami peningkatan, dibandingkan saat musim penghujan. Hal ini dialami Sumanna, peternak lebah madu di desa kertasada kecamatan kalianget , yang sudah puluhan tahun menggeluti profesi ini.

Jika pada musim penghujan , setiap satu kotak lebah perbulannya, hanya menghasilkan1 botol madu, tapi pada musim kemarau kali ini meningkat drastis 3 botol. Sementara harganya  saat ini mengalami kenaikan, dari yang sebelumnya perbotol  80 ribu rupiah, naik menjadi 100 ribu rupiah.

Produksi madu lebah ini, selain dijual dengan kemasan botol, juga dijual dengan kemasan kotak plastik lengkap dengan sarangnya seberat setengah kilogram dengan harga 50 ribu rupiah. Penjualan lebah madu dengan sarangnya ini,  jauh lebih laku hingga 75 persen lebih dibanding kemasan botol, sebab pelanggan lebih yakin , kalau dengan sarangnya madu lebih asli dan tidak ada campuran.

Potensi Warga Giliyang Sebagai Pengerajin Aksesoris

Judul Artikel : Hasil karya ibu – ibu Giliyang

 

Di Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur Berbagai macam aksesoris yang diproduksi oleh ibu-ibu Pulau Giliyang, ternyata sudah di pasarkan di Bali dan Yokyakarta.

Mereka terlihat sudah lincah dan senang menekuni pesanan aksesoris, seperti kalung manik-manik, berbagai macam gelang tangan, kalung hingga cincin. Para pengrajin tersebut sudah menjalankan bisnis pembuatan aksesoris sejak tahun 1992.

“Bulan ini saja, sudah ada pesanan aksesoris 35 ribu kodi,” kata Nikmah (33), warga Dusun Bancamara Barat, Desa Bancamara (Pulau Gilyang), Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, Selasa (21/10/2014).

Menurut dia, mayoritas ibu-ibu di Desa Bancamara menjadi tenaga pengrajin pembuatan aksesoris. “Hampir semua ibu-ibu disini menjadi pengrajin aksesoris. Kalau kaum lelakinya memang mayoritas nelayan,” terangnya.

Untuk pemasaran sudah tidak ada masalah. Sebab, sudah ada perusahaan aksesoris yang menampung. Termasuk bahan-bahan aksesoris juga dikirim dari perusahaan itu. “Jadi, tenaga pengrajinnya orang sini, untuk pemasaran dan bahannya sudah ada perusahaan, baik di Yokyakarta maupun di Bali,” urainya.

Ia menjelaskan, bahan dasarnya, baik dari kulit atau manik-manik dan bentuk aksesoris yang dibutuhkan pasar sudah ditentukan oleh pihak perusahaan. Sehingga, para ibu-ibu tinggal bekerja.

“Upah bagi pengrajin memang bervariatif, tergantung pada tingkat kesulitan aksesorisnya. Kalau yang mudah dikerjakan, upahnya kisaran seribu rupiah per satu aksesoris. Kalau sehari bisa menghasilkan 100-200 aksesoris per orang,” katanya.

“Permintaan terus meningkat, sehingga saya juga membuka peluangkerja ini di wilayah daratan, semisal di Dungkek, Batang-Batang, Batuputih serta daerah terdekat,” tandas Nikmah, pengepul aksesoris Pulau Giliyang, Dungkek, Sumenep.(htn)

Sumber : http://portalmadura.com

Keindahan Wisata Semaan ” Bato Cenneng ”

Judul Artikel : Pesona Bato Cenneng Di Kabupaten Sumenep

Di kabupaten Sumenep Kini Terdapat Wisata Batu Cenneng Sebelum nya Tak ada yang menyangka jika di Kecamatan Dasuk terdapat satu desa wisata yang menawarkan ragam pesona yang begitu menakjubkan. Desa Semaan, demikian nama Desa Wisata yang berada di Kecamatan Dasuk, Sumenep, Madura Jawa Timur. Memang selama ini sedikit informasi yang menyajikan tentang keberadaan desa wisata yang berada di Kecamatan Dasuk.

Ekplorasi Desa Wisata Semaan beberapa hari yang lalu dilakukan oleh teman-teman dari Komunitas Songennep Tempo Doeloe, Blogger Nusantara, serta komunitas blogger Madura Plat-M. Dengan diantarkan rekan-rekan dari Alomampa Songennep, ekplorasi terhadap pesona wisata Desa Semaan dimulai. Kehadiran tim ekplorasi gabungan dari berbagai komunitas ini disambut dengan meriah oleh masyarakat setempat. Keramahan masyarakat Madura benar-benar dirasakan pada saat tim pertama kali sampai dilokasi ini.

Berbagai jenis aspek wisata dapat kita nikmati ketika kita berkunjung ke Desa Wisata Semaan. Salah satunya adanya keberadaan wisata alam “bato cenneng”, yang terdiri dari dua buah batu berukuran besar dan terletak di perbukitan yang berada di Desa Semaan.

Keunikan dari bato cenneng terletak pada suara yang dihasilkan saat dipukul, suara menyerupai suara yang tercipta dari pukulan benda-benda yang terbuat dari logam. Dan setiap berpindah lokasi batu yang dipukul, maka suara yang keluar juga berbeda, sekana memiliki notasi atau tangga nada yang berbeda. Sehingga masyarakat sekitar memberi nama batu tersebut dengan sebutan “Bato Cenneng”.


Sejumlah warga tengah melaksanakan upacara adat “pojien toa” (iril)

Sementara itu masyarakat Desa Semaan menggunakan bato cenneng sebagai tempat melaksanakan upacara adat “pojien toa”.Upacara adat ini dilakukan oleh anak-anak yang melakukan tarian sambil membacakan doa sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas karunia Sang Pencipta

Namun keberadaan lokasi wisata ini tidak banyak yang diketahui karena minimnya informasi tentang keberadaan desa wisata ini.

Menurut Andi (33) penggiat wisata desa Semaan selama ini publikasi terhadap keberadaan wahana wisata bato cenneng tidak pernah ada. Sehingga untuk melakukan publikasi dan penyampaian informasi dari lokasi wisata ini warga sekitar memanfaatkan media internet sebagai sarana untuk menyampaikan informasi.

Selama ini belum ada promosi tentang keberadaan desa wisata ini, kami secara mandiri memanfaatkan internet untuk proosi” ungkap Andi (33) salah satu warga yang juga berprofesi sebagai guru.(Iril/Deny)

Sejarah Perahu Sarimuna Peninggalan Syaichona Moh. Cholil

Judul Artikel : Perahu Peninggalan Syaichona Moh. Cholil

 

Tepat nya Di Pelabuhan Sarimuna di Desa Telaga Biru, Kecamatan Tanjungbumi, diambil dari nama sebuah perahu. Tentu perahu tersebut bukanlah perahu sembarang. Perahu berukuran 14,5 meter dengan lebar 4,65 meter itu merupakan peninggalan ulama besar Madura, Syaichona Cholil. Sampai saat ini, perahu yang terbuat dari kayu jati tersebut masih terawat dengan baik.

Perahu tersebut sampai saat ini diletakkan di pesisir pantai Telaga Biru, Kecamatan Tanjungbumi. Dari Mapolsek Tanjungbumi, lokasinya hanya 500 meter di sebelah barat. Cukup mudah untuk dilalui kendaraan karena jalannya sudah berlapis aspal.

Tepat di kiri jalan beraspal perahu tersebut diletakkan. Di bawah bangunan beratap asbes dengan lantai yang dilapisi keramik. Kemarin (16/10) koran ini berkunjung ke tempat itu. Bangunan sederhana tersebut dikelilingi pagar bambu. Sementara di pintu masuk terdapat tulisan yang menerangkan bahwa perahu tersebut merupakan peninggalan Syaichona Moh. Cholil.

Di sekitar perahu koran ini bertemu dengan Arifin, 41, warga setempat. Dari Arifin inilah informasi tentang perahu Sarimuna diperoleh. Menurutnya, perahu yang berusia ratusan tahun itu memiliki kekuatan magis. Bahkan, lanjut dia, seluruh warga di sana meyakini itu.

Arifin pun kemudian menceritakan salah satu contoh kenapa warga meyakini jika perahu yang dulu disebut Golekan Sarimuna itu bertuah. Menurut dia, dulu pernah ada warga sakit parah. Meski sudah berobat, namun penyakitnya tak kunjung sembuh.

Namun, setelah sekian lama warga tersebut sakit, ada kerabatnya yang bermimpi tentang perahu tersebut. Warga yang sakit pun kemudian ditanya apakah pernah mengambil sesuatu dari perahu tersebut atau tidak. Ternyata, warga yang sakit tersebut pernah mengambil kayu dari perahu Sarimuna.

Setelah itu, si warga yang sakit tersebut diminta mengembalikan kayu tersebut. ”Alhamdulillah, tak lama setelah dikembalikan, berkat izin Allah, yang sakit sembuh Mas,” ujar Arifin.

Arifin sendiri mengaku pernah dibuat heran oleh perahu Sarimuna. Itu terjadi saat angin kencang dan air di laut pasang. Rumah Arifin yang hanya berjarak 10 meter dari lokasi perahu Sarimuna saat itu sudah digenangi air laut. Anehnya, di sekitar bangunan perahu Sarimuna tetap kering. Padahal, lanjutnya, ketinggian lantai bangunan tempat perahu diletakkan tidak lebih tinggi dari lantai di rumahnya.

Masih menurut Arifin, masih banyak hal-hal yang membuat warga yakin peninggalan ulama besar tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Karena itu, warga setempat rutin menggelar pengajian di sekitar perahu. ”Setiap Kamis sore, banyak warga mendatangi perahu ini. Mereka mengaji, ada pula yang membawa tumpeng,” ungkapnya.

Untuk mendapat informasi lebih banyak tentang Golekan Sarimuna ini, Jawa Pos Radar Madura kemarin mendatangi Kantor Kecamatan Tanjungbumi. Di kantor tersebut koran ini ditemui Camat Tanjungbumi Djoko Budiono.

Camat tersebut kemudian menyodori tiga lembar kertas berisi rangkuman cerita rakyat seputar perahu Sarimuna. Mulai kisah pembuatannya, hingga pengalaman berlayar di laut nusantara.

Dari lembaran itu disebutkan jika Golekan Sarimuna dibuat sekitar abad ke-18. Saat ini diperkirakan usai perahu sudah mencapai 125 tahun lebih. Sebelumnya ukuran perahu lebih kecil. Perahu menjadi lebih besar setelah dilakukan renovasi pada 1951. Saat itu perahu masih digunakan. Namun, pada 1982 Golekan Sarimuna tak lagi mengarungi lautan. Warga pun menaikkannya ke daratan.

Di kertas yang berjudul ”Golekan Sarimuna Perahu Tradisional Tanjungbumi Peninggalan Syaichona Cholil” itu juga disebutkan siapa pembuat perahu tersebut. Di sana dijelaskan jika Syaichona Moh. Cholil meminta seorang warga Desa Telaga Biru yang bernama Molin untuk membuatkan perahu.

Kala itu, Molin tak langsung menyanggupi. Sebab, dirinya sedang menderita penyakit kulit dan gatal-gatal di seluruh tubuhnya. Namun, ulama besar itu pun kemudian menawarkan diri untuk mengobati penyakit Molin. Molin pun akhirnya menyanggupi membuat perahu asal dirinya terbebas dari penyakitnya.

Syaichona Moh. Cholil pun kemudian mengambil seikat lidi dan memukulkannya ke tubuh Molin. Seketika, Molin pun sembuh dari penyakitnya. Molin pun kemudian membuatkan perahu yang kemudian diberi nama Golekan Sarimuna.

Keistimewaan perahu ini juga tampak saat pembuatannya. Menurut Mohammad Juhri, penulis rangkuman cerita rakyat tersebut, perahu yang biasanya selesai lima sampai tujuh bulan ternyata tidak demikian dengan perahu yang satu ini. Molin hanya membutuhkan waktu 40 hari saja merampungkan perahu tersebut.

Dikatakan, dalam perjalanannya, perahu Sarimuna ini biasa digunakan oleh Syaichona Cholil untuk menyebarkan agama ke sejumlah daerah di nusantara. Karena itu, menurut camat Tanjungbumi, tidaklah berlebihan jika nama perahu tersebut kemudian diabadikan sebagai nama pelabuhan di desa setempat. ”Memang patut diabadikan,” pungkas camat tersebut. (*/fei)

 

Sumber : http://radarmadura.co.id

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bebek Cetar Membahana khas Ole – Olang

Judul Artikel : Bebek Khas Ole – Olang  Bebas Kolesterol

 

 

Penasaran Kan Dengan Bebek Khas Ole- Olang Tenang Bagi penikmat kuliner pedas tidak ada salahnya anda bersama keluarga dan teman-teman terdekatnya datang ke Rumah Makan Ole-Olang, di jalan Raya Ketengan, Burneh, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

Kurang lebih 2 KM dari jembatan Suramadu ke arah Kota Bangkalan, dengan menyajikan menu special Bebek Cetar Membahana.

Bebek Cetar Membahana ini, lain dari pada menu bebek yang lain, baik itu bumbu masakan yang disajikan serta cara penghidangannya. Untuk menu sendiri tersedia sampai tiga level, mulai dari level 1 (Pedas biasa) Level 2 (Pedas sedang) dan level 3 (Super Pedas).

“Para penikmat bebek tidak ada salahnya incip-incip menu Bebek Cetar Membahan ini dijamin akan cetar alias keluar keringat. Belum lagi ditambah dengan dua bumbu yakni sambel pencit dan sambel ole-olang yang disediakan khusus dalam olahan, dijamin akan semakin ketagihan dan nambah nafsu makan,” kata pengelola Rumah Makan Ole Olang, Lela,
dengan didampingi suami tercintanya, Minggu (17/11/2013).

Menu olahan Bebek Cetar Membahana dijelaskan Lela, berawal dari ide ketika dirinya masak di rumah dengan memadukan rempah-rempah serta cabe rawit, yang dimaksudkan untuk memperkenalkan kuliner Madura dengan syarat rempah-rempah hasil bumi sendiri.

“Menu ini setelah di racek dengan bumbu racikan khas Ole Olang, bebas dari kolesterol dan tidak menyebabkan sakit perut (mules) karena sudah dinetralisir oleh rampah-rempah itu, biasanya kalau kepedesan langsung perut mules kalau Bebek Cetar Membahana ini di jamin tidak akan sakit perut,” ujarnya.

Menu bebek cetar membahana tersebut lebih menitik beratkan pada jumlah cabai. Bila yang dipilih rasa sangat pedas, tentu jumlah cabai yang akan diolah jadi bumbu lebih banyak. Sementara untuk bumbu yang lain, terdisi dari bawang putih, merah, kunir, jahe dan lengkuas

”Rumah Makan Ole Olang juga memberi garansi bagi para penikmat semua macam menu yang disediakan, cukup menyatakan tidak enak setelah mencicipi, maka pembeli dijamin tidak usah bayar alias uang kembali,” ujarnya. (atc/htn).

Sumber : http://portalmadura.com

Adat Kirab Perahu di Pulau Poteran

Warga Desa di Pulau Poteran, tepatnya di desa Padike, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep, menggelar tradisi tahunan kirab perahu hias keliling perairan Pulau setempat.

Asisoris aneka warna warni yang terbuat dari kertas itu menghiasi puluhan perahu, dari tiang sampai tepian perahu, sehingga nampak kemeriahan. Sementara para masyarakat setempat dan para pengunjung berjejer di bibir seraya mengelu-elukan proses kirab perahu tersebut.

Dalam mengekspresian kemeriahan ini, ada perahu yang sengaja memasang replika kuda keatas geladak perahu, demikian sejumlah bahwa puluhan war4ga bergabung dengan para nelayan  juga ikut naik di atas perahu, berkeliling perairan pulau Poteran  sambil berjoget ria dengan iringan musik rancak, mulai musik tradisional Madura, Saronen, sampai  dangdut koplo.

Kirab perahu hias ini adalah ritual tahunan, yang menjadi bagian dari rangkaian acara petik laut. Dengan menghias perahu, para nelayan pulau Poteran ingin menunjukkan wujud syukur mereka, kepada Sang Maha Pencipta.

“Kirap perahu ini merupakan acara tradisi tahunan yang dilaksanakan masyarakat disini”, terang Mulyono salah seorang warga dari desa Palasa. Tujuannya, katanya, selaian rasa syukur atas limpahan hasil dari laut, juga berharap pada musik tangkap ikan berikutnya mendapat hasil yang lebih melimpah.

Acara yang digelar selama tiga hari tersebut, terdapat acara puncak ritual yaitu berupa rokat tase’ atau larung sesaji. “Jadi mereka melarungkan sesajen ke tengah laut, sebagai bagian ritual persembahan.

Biaya untuk merias perahu tidak sedikit, bahkan sampai jutaan rupiah. Namun demikian, ujar Madrai warga setempat yang katanya ikut membantu proses periasan perahu milik tetangganya itu, si pemilik tidak segan-segan membiayai berapa jutapun. “Kami melakukan semua ini penuh suka cita, seperti layaknya perahu yang dihias itu seperti menghadapi lomba hias perahu.”, ungkapnya.

Karena meraka  meyakini, dengan menghias perahu sebagus dan seindah mungkin, merasa seperti memnyampaikan doa yang Sang Khalik. agar mendapatkan keselamatan, serta menjadi berkah berupa hasil tangkapan ikan yang berlimpah di kemudian hari.

Seperti pertunjukan layaknya, puluhan perahu yang mengikati bibir pantai itu menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Siapapun boleh naik menumpang perahu selama kapasitas perahu memungkinkan, dan umumnya para penumpang perahu hias itu terdiri dari kerabat dekat atau tetangga pemilik perahu, yang selanjutnya diajak mengitari Pulau Poteran yang tidak begitu luas.

Setelah berkumpul di pesisir desa padike, lima puluhan perahu hias ini akan dikirab berlayar mengelilingi pulau poteran. Arak-arakan perahu kirab ini terlihat menarik, karena seluruh perahu berjalan rapi dan berjejer satu sama lain.

Kirab perahu ini digelar dari pagi hingga sore hari. Walaupun merupakan tradisi nelayan desa, namun para nelayan membolehkan warga desa lain untuk naik ke perahu mereka, dan menikmati hiburan yang tersedia (Lontar Madura)

sumber artikel: http://www.lontarmadura.com

Tradisi Toron Tana Masyarakat Madura

Toron Tana (turun ke tanah) merupakan tradisi ritual bagi masyarakat Madura untuk menandakan bahwa seorang anak manusia mulai  dibenarkan menyentuh tanah pertama kalinya sebagai proses perjalanan kehidupannya kelak.

Tradisi toron tana ini diberlakukan bagi bayi usia 7 bulan yang pada saat usia tersebut bayi mulai mengenal benda-benda yang dilihat dan disentuh (diambil) dihadapannya. Maka tak heran, tradisi ini ada sementara pihak keluarga menandai dengan cara besar-besaran dengan mendatang sejumlah anak sanak keluarga dan tentangga yang nantinya akan  menjadi saksi bahwa bayi tersebut sudah tidak lagi mempunyai pantangan menyentuh atau menginjak tanah atau bumi.Dalam prosesi toron tana, bayi akan menginjak bubur yang terbuat dari beras merah bercampur santan yang diyakini akan membuat sang bayi kuat dan kokoh menapaki kehidupan. Dan selanjutnya sang bayi dihadapkan sejumlah benda-benda, seperti sisir,fulpen,buku, kaca, bedak, dan benda-benda lainnya yang kerap digunakan sebagai kebutuhannya sehari-hari kelak.

Bila ternyata sang bayi merah sisir misalnya, diyakini kelak dia akan suka besolek dan selalu tampil dengan rapi. Demikian pula, bila dia meraih fulpen atau pensil, bayi tersebut diyakini akan pandai menulis. Alat atau benda tersebut merupakan simbol yang menunjukkan bahwa sejak usia dini tersebut, anak-anak sudah mulai mengenal apa yang ia harus ia lakukan kelak.

Namun demikian, pada hakikatnya dengan melakukan tradisi ritual toron tana ini sebagai bentuk harapan agar kelak anak bisa menjadi orang yang berguna. Sebelum acara digelar, bayi dimandikan terlebih dulu. Sedangkan tamu – tamu yang diundang dalam tradisi ini adalah anak – anak. Tokoh masyarakat dan biasanya guru ngaji yang pada saatnya nanti sang orang tua akan “menitipkan putra/putrinya” itu untuk berguru padanya. Sang guru tersebut membacakan doa-doa demikian keselamatan dan keberlangsungan hidup sang bayi.

Setelah doa selesai, bayi dibiarkan mengambil barang – barang yang disediakan didepannya seperti buku, pulpen, tasbih dan Al Qur’an agar kelak anak menjadi rajin, pintar dan tumbuh menjadi anak yang sholeh.

Proses ritual selanjutnya adalah menginjak bubur. Hal ini memiliki makna tersendiri agar kaki sang bayi kuat dan kokoh saat berjalan. Tradisi ini merupakan turun temurun yang harus dilaksanakan agar sang bayi menjadi orang kuat dan bijaksana.

Bayi yang telah merayakan tradisi toron tana diperbolehkan menyentuh tanah serta bermain dengan anak – anak sebayanya ditandai dengan makan bubur bersama. Diakhir acara, anak – anak ini diberi sentuhan sapu lidi dengan harapan anak tidak nakal dan patuh terhadap orangtua.

Menjelang acara usai tuan rumah (biasanya dilakukan oleh sang nenek) telah menyiapkan alat pemukul dari panebbheh , yaitu segumpal lidi (sapu lidi) yang biasanya diperuntukkan untuk membersihkan kasur. Dan ketika acara usai, anak-anak yang terundang akan berlarian keluar karena si tuan rumah akan memukilinya (dengan sentuhan panebbheh tersebut).

Makna memukul dengan panebbheh tersebut, mempunyai makna agar anak-anak yang membawa sifat jelek (sebut sifat setan) agar bersih dari ruang acara tersebut, sehingga tidak terbawa kepada sang bayi. Simbolitas yang barangkali sebagai bentuk kehati-hatian yang diajarkan oleh para pendahulunya bahwa pada usia bayi yang rentan dimasuki atau dirasuki sesuatu yang dapat mengakibatkan tidak baik bagi sang bayi.

Hal inilah yang banyak dijarkan dalam kearifal lokal Madura, yang semata-mata tujuannya bahwa dalam menjalankan hidup manusia punya etika, estitikan dan nilai baik buruk yang bisa terjadi setiap saat.

Tradisi ritual toron tana ini setiap wilayah di Madura  mempunyai cara yang berbeda-beda, baik dalam bentuk ritual maupun tata laksananya. Bahkan tempatnyapun  selain di rumah, seperti tempat-tempat yang  disakralkan kerap menjadi pilihan sebagai bentuk keyakinan bahwa ditempat tersebut akan menumbuhkan berkah yang lebih besar, termasuk tempat-tempat di musholla atau langgar.

sumber artikel: http://www.lontarmadura.com

Wisata Budaya Menakjubkan Pulau Madura

Wisata budaya di Madura, Jawa Timur lebih potensial untuk dikembangkan di banding wisata alam yang ada di wilayah itu, kata budayawan Madura asal Pamekasan, Kadarisman Sastrodiwiryo, Rabu.

“Objek wisata alam yang ada di Madura ini tidak seberapa banyak. Akan tetapi dari sisi budaya, Madura sangat kaya dengan budaya,” katanya.

Masyarakat Madura mulai dari kabupaten yang terletak di ujung barat, Bangkalan, hingga di ujung timur pulau itu, yakni Kabupaten Sumenep, banyak memiliki ragam budaya dan hingga kini masih tetap lestari di kalangan masyarakat.

Bahkan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Madura, selalu senafas dengan perekonomian masyarakat Madura.

Ia mencontohkan seperti budaya karapan sapi, sapi sonok asal Pamekasan, serta sapi hias yang akhir-akhir ini juga berkembang di wilayah Kabupaten Sumenep.

“Jenis budaya ini kan berawal dari kegemaran masyarakat Madura beternak sapi,” katanya.

Selain itu juga jenis musik “Thug-thug Taal”, yakni jenis musik yang terbuat dari kerangka kering buah pohon lontar, yang beberapa waktu lalu sempat dipentaskan secara massal di Pamekasan.

Menurut Kadarisman, pohon lontar (siwalan), sebenarnya juga merupakan bagian dari “nafas ekonomi” masyarakat Madura, khususnya di wilayah perdesaan.

“Daun siwalan itu bisa dibuat tikar, alat bungkus tembakau, buahnya di makan dan airnya untuk dominum. Jadi ada nilai ekonomisnya dan pohon lontar ini sangat menyatu dengan masyarakat Madura,” tambahnya.

Oleh karena itu ia menilai pengembangan wisata budaya sebenarnya lebih potensial di Pulau Garam tersebut dibanding wisata alam.

“Kalau kita berupaya mengembangkan wisata alam, jelas kalah jauh dibanding daerah lain yang memang memiliki potensi alam lebih menarik dibanding Madura,” katanya.

Pemkab di Madura, seperti di Bangkalan, akhir-akhir ini memang terlihat mulai serius mengembangkan wisata budaya yang ada di pulau berpenduduk sekitar 4 juta lebih ini.

Salah satunya seperti yang dilakukan pemkab Bangkalan, yang setiap bulan menggelar lomba karapan sapi dengan tujuan untuk menarik kunjungan wisatawan.

Sedangkan yang dikembangkan pemkab Pamekasan adalah sapi sonok, yakni kontes “sapi cantik”, termasuk seni musik thug-thug taal dan musik tradisional “daul” yang memang menjadi ikon di kota itu.

 

 

sumber artikel: http://www.antarajatim.com