Falsafah Orang Madura

artikel tentang: Falsafah Orang Madura

judul artikel: Nikah Dulu, Baru Kerja

 

 

Madura juga punya semboyan yang mewakili sifat dan pikiran orang Madura. Banyak istilah atau falsafah yang benar-benar melekat pada diri masyarakat di Madura.

Anda ingin menikah, tapi belum kerja?  Saya membayangkan pasti Anda panik. Pertanyaan yang selalu menghantui Anda tak jauh dari seputar, istri mau dikasih makan apa? Tinggal dimana? Terus, kalau punya anak bagaimana? Jika dilanjutkan pertanyaan akan memanjang. Sambung-menyambung dan bakalan tidak ada habis-habisnya.

Belum lagi calon mertua. Pasti ia tidak akan merestui menyerahkan anaknya bulat-bulat pada orang yang belum bekerja. Gila apa, percaya sama orang pengangguran. Jika ada calon mertua santun sama calon menantu yang nekad nikah dan belum bekerja, mungkin, tak banyak. Yang banyak, GALAK.

Jika benar, Saya akan berbagi pengalaman bagi Anda yang masuk katagori “BELUM  MENIKAH KARENA BELUM BEKERJA (Tentang alasan orang belum menikah, silahkan klik posting saya 7 alasan orang belum (tidak) menikah). Saran saya, ada baiknya Anda meniru cara pikir orang Madura. Menikah dengan menggunakan logika terbalik dari pandangan –umumnya— masyarakat di luar Madura: NIKAH DULU, BARU KERJA. Lho?

Ya betul. Hampir semua kawan saya menikah dalam kondisi belum bekerja. Yang dimaksud belum bekerja di sini, belum memiliki penghasilan tetap. Gimana lagi, “arus bawah” sudah tidak bisa dibendung, masa ditunda? Soal kerja gampang, belakangan. Ketika seseorang sudah memiliki tanggungan, maka semangat akan bergelora untuk menunaikan tanggungjawabnya.

Ini adalah pandangan orang Madura. Artinya secara budaya, hal ini sudah diterima. Suatu bentuk kebudayaan nekad yang menoleransi orang yang hendak menikah sebelum memperoleh pekerjaan tetap. Jadi ketika melamar seorang  gadis, orang madura tidak  biasa menanyakan sama calon menantunya, “kamu kerja dimana?”.

Masyarakat Madura menyiasati hidup dengan sederhana. Dalam persoalan rizki orang Madura menyandarkan pada kemurahan Sang Pemilik Rizki.  Ada ungkapan begini, “ pangeran ta’ aduum lako, tape aduum rizki” (Allah tidak ngasih hambanya kerja, tapi melimpahkan rizki). Kearifan lokal ini bukan berarti menyuruh kita tidak bekerja. Bekerja harus. Karena langit tidak menurunkan hujan emas dan perak. Tetapi bekerja tetap harus diletakkan dalam terang cahaya-Nya. Bukankah banyak orang yang sudah memiliki kerja mapan, tetapi tetap merasa miskin?

Bagi orang Madura, rizki yang diharapkan juga yang serra’ berkat (rizki yang “awet” (tidak menjadikan boros) dan membawa keberkahan). Rizki yang serra’ berkat yang akan memandu manusia untuk selalu merasa cukup di saat kekurangan, dan tidak berlebih di saat berkecukupan.

Maaf. Bagi para pemikir strukturalis, kearifan lokal ini mungkin membingungkan. Ungkapan di atas paling-paling dianggap sebagai refleksi dari rapuhnya basis materinya. Para pemikir modernis mungkin juga bingung. Karena rizki dalam pandangannya akan datang jika seseorang memiliki pendidikan cukup, keterampilan, atau modal.

Dalam prakteknya, cara pikir yang positivis semacam itu bisa dijungkirkanbalikkan. Orang Madura sudah membuktikannya. Dan ampuh. Rizki toh datang dari banyak pintu, justru ketika seseorang menikah. Pikiran orang Madura sekali lagi sederhana, jika sudah berdua, tidak mungkin Tuhan akan memberi rizki untuk satu orang. Jika bertiga, karena ditambah satu anak, tidak mungkin Tuhan akan memberikan rizki hanya buat dua orang. Tuhan Maha Adil untuk tidak memberikan rizki pada anak, bukan?

Jika Anda belum menikah karena belum bekerja, gunakan logika terbalik ala orang Madura; NIKAH DULU, BARU KERJA. Tentu ini tidak mudah. Sebuah budaya tidak bisa begitu saja direplikasi ke daerah yang memiliki budaya berbeda. Tetapi siapa tahu kearifan lokal masyarakat Madura ini bisa mengetuk kesadaran, terutama calon mertua yang galak banget sama calon menantu, karena belum memperoleh pekerjaan. Nikah saja, kok dibuat ribet. Berani nekad?